Genre: Romantic, Action, Friendship
Cast: G-Dragon (Kwon Ji-Yong), Kim Haneul (yourself), TOP (Choi Seung-Hyun), Choi Si-Won
Based on: Wedding Dress MV, Lies MV, Day by Day MV, Grenade by Bruno Mars

2 years later..
Jiyong’s Room, 10.19PM
“Jiyong-ah...” kata sebuah suara dari ponselku.
“Kim..Haneul..noona?” tanyaku sedikit kaget karena sudah lebih dari dua tahun ia tak pernah menghubungiku lagi. Semenjak ia menikah.
“Jiyong-ah..” katanya sambil terisak. Jelas ia sedang menangis.
“Kau.. kenapa, noona?” tanyaku khawatir. Aku memegangi dadaku yang terasa perih mendengarnya menangis.
Ia tidak menjawab pertanyaanku. Hanya terus menyebutkan namaku dengan lirih, “Jiyong-ah..”
“Kumohon noona berhenti menangis! Jelaskan padaku apa yang terjadi! Di mana Seunghyun?”
“Tolong aku. Kumohon,” katanya lagi dengan lirih.
Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Aku duduk di kasurku dan memijit-mijit pelipisku. “Dimana Seunghyun?” tanyaku sekali lagi. Tangisan Haneul semakin keras. “Noona, aku tak tahu kalian di mana, jadi aku tak bisa bantu apa-apa. Beritahu aku di mana Seunghyun, jadi ia bisa menenangkanmu dulu sebelum aku datang.”
“Dia..ada..di sini. Kumohon, Jiyong, aku takut,” katanya lagi. Lalu kudengar sebuah suara gedebum keras seperti seseorang yang berusaha membuka pintu. Haneul berteriak dan aku menutup ponselku karena tak tahan mendengarnya.
Beberapa menit kemudian aku melamun. Menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi antara Haneul dan Seunghyun. Haneul bilang Seunghyun ada di sana bersamanya, tapi kenapa ia mesti ketakutan dan malah menelepon aku? Suara gedebum apa yang tadi itu? Apa mereka sedang berkelahi atau apa? Aku benar-benar kebingungan.
Ponselku bergetar. Aku meraihnya dan ada sebuah pesan yang baru masuk. Isinya sebuah alamat dari nomor yang tidak kukenali. Alamat itu masih di Seoul, dan aku tahu pasti siapa yang tinggal di sana. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari. Berlari lebih cepat dari angin.
___________
Kim Haneul’s House, 12.13PM
Aku sampai di depan rumahnya. Dengan napas terengah-engah dan debar jantung yang memburu, aku mengetuk pintu rumahnya. Tak ada jawaban. Sekali lagi kuketuk, tak ada jawaban. Lalu aku mendengar suara orang menangis. Aku langsung memburu masuk dan untungnya pintu depan rumahnya tidak terkunci.
Aku memperhatikan sekelilingku, rumahnya gelap gulita. “Noona!” panggilku. Aku berhenti dan memasang telingaku, menunggu jawaban. “Noona!” panggilku lagi.
“Jiyong-ah..” jawab seseorang. Kim Haneul.
Suara itu datang dari arah dapurnya. Tanpa berpikir, aku langusng pergi ke arah suara itu. Lampu kamar mandinya menyala dan ada bayangan orang di sana. Aku membuka pintu kamar mandi itu dan melihat Kim Haneul duduk di pinggiran bathtub dengan ekspresi kosong dan mata sembab.
Baru saja aku akan memanggil namanya ketika aku melihat pemandangan mengerikan di lantai kamar mandi itu. Napasku tercekat dan aku menutup mulutku. Mataku terbelalak dan kepalaku benar-benar sangat pusing. Di sana, di lantai kamar mandi Kim Haneul, Seunghyun terbaring kaku bersimbahkan darah. Di pinggir mayatnya, ada sebilah pisau yang berlumuran darah, potongan-potongan kaca, dan beberapa benda tajam lainnya. Lututku seketika lemas melihat pemandangan mengerikan ini. Aku terlalu muda untuk melihat temanku sendiri tewas bersimbahkan darah. Aku duduk di lantai kamar mandi itu dengan pikiran yang kosong dan tak tahu harus berbuat apa.
“Aku harus bagaimana, Jiyong?” Tanya Haneul. Aku meliriknya dan hampir tak mengenalinya sama sekali. Ia terlihat sangat berbeda. Wajahnya pucat dan terlihat tirus. Pandangannya kosong dan ia terus menggumamkan namaku. Ia bukan seperti Kim Haneul yang ceria, selalu tersenyum, dan hangat.
“Pergilah,” kataku. Lagi-lagi tanpa berpikir.
Haneul melihat ke arahku dengan tatapan memelas. Aku berdiri lalu mengecup keningnya. Aku membuka jaketku dan memberikannya. Kurengkuh wajahnya dan kupeluk tubuhnya yang kurus. “Semuanya akan baik-baik saja,” bisikku. Setetes air mata keluar dari mataku.
Haneul mulai menangis lagi. “Aku membunuhnya.. aku seperti orang gila..aku..” katanya di sela-sela tangisnya.
“Sssttt,” kataku menenangkannya. Air mataku semakin deras keluar. Jujur aku pun bingung.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya sambil melihat ke arahku.
Aku menarik napas dan menghembuskannya keras-keras. “Sudah kubilang kau harus pergi. Lari. Kemanapun asal jangan diketahui siapa-siapa. Aku akan di sini, memikirkan sesuatu. Aku akan selalu ada di sampingmu, jadi kau jangan khawatir. Aku akan segera mengejarmu nanti, kita akan menikah, dan kau akan lupakan semua ini,” kataku. Aku melepas cincin pemberian Haneul dan menyisipkannya di jari manis Haneul. “Cincin ini janjiku untukmu.”
Haneul masih bergeming dengan mata yang tak fokus. “Larilah!” teriakku. Ia sedikit terlonjak dan kemudian ia berlari ke luar. Kini aku sendirian, di kamar mandi, dengan Seunghyun yang terbujur kaku bersimbahkan darah.
“Aaaaarrrrggghhhh!” teriakku. Aku menangis sekuat-kuatnya sampai tenggorokanku terasa perih.
Saat itu aku benar-benar buta. Aku menutupi kaos, tangan, dan wajahku dengan darah Seunghyun. Aku mengambil pisau itu dan mencucinya sambil berharap sidik jari Haneul juga akan menghilang. Aku menggenggam pisau itu erat-erat dan membalurkannya dengan darah lagi. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Aku tahu aku akan menyesalinya suatu saat nanti. Melindungi seseorang kucintai yang sudah meninggalkan aku tanpa berbalik ke arahku. Aku tahu ini salah! Tapi cintaku padanya membutakan mataku terhadap apapun yang nyata. Di pikiranku, hanya ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuknya. Untuk membuktikan kalau aku mencintainya. Aku rela berbuat apapun demi dirinya.
Tolonglah! Aku tak mau dia masuk penjara, aku tak mau di menderita seumur hidupnya. Biarkanlah aku menjadi dirinya. Biarkanlah aku menempati tempatnya. Biarkanlah aku membayar semua dosanya. Biarkanlah aku berbuat semua itu demi dirinya. Meskipun aku tahu dia takkan mau melakukan hal yang serupa.
Yang harus ia lakukan sekarang, hanya berlari.
_____________
1 week later
Seoul Street, 15.16 PM
Aku berlari sangat kencang. Angin menderu-deru di telingaku dan aku bahkan tak bisa lagi merasakan kakiku memijak bumi. Mereka mengejarku. Aku sangat ketakutan, tapi aku tidak punya alasan untuk berhenti dan membiarkan polisi-polisi itu menangkapku. Salah satu polisi menembakiku. Pelurunya kini bersarang di paha kiriku dan rasanya seperti dibakar hidup-hidup. Aku meringis lalu kehilangan keseimbangan. Aku jatuh berguling-guling lalu kembali bangkit dan berlari.
Keringat dingin mulai muncul dari wajahku. Aku kehausan dan kakiku sangat sakit. Mataku berkunang-kunang dan aku tak boleh pingsan di sini. Sambil masih berlari terseok-seok, aku melihat sebuah gang sempit. Aku bersembunyi di sebuah gang itu lalu mencoba untuk bernapas.
Aku melihat beberapa polisi melewati gang tempat aku bersembunyi, tapi mereka tidak melihatku. Aku merasa lega. Paling tidak aku bisa bernapas sepuasnya sekarang. Aku duduk berselonjor dan meremas rambutku. Aku melihat sebuah bolongan kecil di pahaku dan darah terus keluar dari sana. Aku tahu aku tidak seharusnya melakukan ini. Ini bukan salahku. Ini bukan dosaku. Aku seharusnya duduk tenang di kamarku, bermain piano, kuliah, dan tidur pulas. Bukan berlari-larian dan menanggung beban yang teramat berat ini.
Aku merogoh saku celanaku, berusaha menemukan ponselku. Setelah beberapa saat mencari, ternyata ponselku tak ada. Mungkin terjatuh saat aku berlari. Ada sebuah telepon umum di gedung seberang. Aku merogoh-rogoh saku celanaku, berharap menemukan uang koin. Untungnya ada beberapa koin di sana. Aku berdiri lalu berjalan terpincang-pincang perlahan ke arah telepon umum itu. Aku melihat sekitarku, takut polisi-polisi itu tiba-tiba datang dan menangkapku. Setelah cukup aman, aku mempercepat langkahku dan mulai menekan tombol telepon umum itu. Semoga Haneul mengangkat ponselnya.
Satu nada sambung, jantungku berdebar. Dua kali nada sambung, aku mulai gemetaran. Akhirnya seseorang mengangkat teleponnya. “Yeoboseyo?” sapa orang itu. Syukurlah Haneul tidak apa-apa. Aku tersenyum lega menikmati lembut suaranya dari seberang telepon. “Yeoboseyo?” sapanya lagi.
“Kim Haneul noona?” tanyaku meyakinkan dengan napas terengah-engah menahan sakit.
“Jiyong?” Haneul balik bertanya.
“Syukurlah noona tak apa-apa,” kataku lega.
“Kenapa kau telepon aku?” tanyanya ketus. Aku menelan ludah dan sedikit kaget mendengarkan.
“Karena aku ingin tahu kabarmu,” jawabku.
“Kau sedang apa sekarang?”
“Bermain kejar-kejaran dengan polisi.”
“Dan kau meneleponku?”
“Aku hanya..” jawabku terbata. Ini bukan reaksi yang kuharapkan. Bukan percakapan singkat yang ketus dan dingin seperti ini. “Noona sedang apa?” tanyaku berusaha bersantai.
“Aku sedang di salon.”
Di salon? Pikirku. Dia sedang bersantai-santai di salon sementara aku sedang diburu oleh puluhan polisi?
“Noona pasti kelihatan cantik sekarang,” kataku lirih sambil menahan tangis. Polisi-polisi mulai berdatangan ke arahku.
“Jiyong-ah, dengar, aku..”
Aku tidak punya cukup waktu untuk mendengarkan lagi. Polisi-polisi itu telah menangkapku dan menyeretku dengan borgol di sekeliling pergelangan tanganku. Aku terlalu lemah untuk melarikan diri. Mereka memasukkanku ke mobil polisi. Kebohongan ini tidak bisa diampuni. Aku tahu aku akan dihukum berat. Terserahlah.
Aku tahu ini bukan dosaku, bukan kesalahanku, tapi aku harus melakukannya karena aku mencintainya. Persetan jika ia tak mau melakukan hal serupa. Mungkin ini kelihatan seperti kesalahan besar ketika aku melakukannya, tapi apa yang bisa kulakukan ketika aku melihat wajah sedih, kebingungan, dan ketakutannya? Apa bisa aku menuduhnya sebagai pembunuh? Pembunuh sahabatku dan suaminya sendiri? Kau pasti bercanda.
Entah apa yang menyebabkan Haneul yang selembut kapas, tega membunuh Seunghyun. Apapun alasannya, yang jelas Minji tak mungkin melakukannya tanpa sebab.
Polisi-polisi itu terus menyeretku dengan para reporter di sekelilingku. Mereka memotretiku dengan kameranya. Flash kameranya membuat mataku berkunang-kunang dan kepalaku pusing. Hatiku menjadi sakit ketika aku mengingat seharusnya Haneul yang seperti ini. Aku tak tega melihatnya diseret dan disorot seperti ini. Aku terus menahan rasa sakit ini dengan berpura-pura tegar. Ingin sekali aku berteriak pada para polisi dan wartawan itu untuk berhenti memaksaku menjadi pembunuh. Meskipun seharusnya, Haneul yang kuteriaki.
Syukurlah bukan Haneul yang seperti ini. Dikurung dalam sel bersama dengan gorila-gorila galak, tidur beralaskan semen dingin, dikungkung rasa kesepian dan penyesalan. Syukurlah ia bahagia. Aku, di sini, di penjara, tidak merasa menyesal sedikitpun. Karena aku mencintainya. Meskipun ia meninggalkanku dengan balutan gaun pengantin itu. Meskipun ia membuatku berbohong. Aku tetap mencintainya.
__________
Jail, 19.24PM
Kim Haneul mengunjungiku di keesokan harinya. Ia menungguku di balik dinding kaca. Saat melihatku, ia langsung menangis. Ia tidak mengucapkan apapun. Ia hanya melihatku dan aku pun hanya melihatnya. Ia meletakkan tangannya di depan kaca dan aku mengikutinya. Ingin sekali kutembus kaca itu dan menggenggam tangannya erat-erat.
“Kim Haneul,” panggilku pelan. Ia menghapus air matanya lalu memperhatikanku. “Aku minta maaf, tapi aku sangat mencintaimu. Aku tak pernah menyangka aku akan mencintaimu sedalam ini. Aku tahu kau sangat tertekan ketika melihatku, tapi aku akan selalu menghampirimu ketika kau meneriakkan namaku. Kapanpun kau menitikkan air mata di pipimu. Kapanpun kau merasakan rasa sakit, aku akan berlari menghampirimu. Dengan tangan terbuka lebar, dan kau punya pundakku untuk menangis.”
Haneul menangis semakin keras. Ia menggumamkan sesuatu dengan suara yang amat pelan. Ia mengucapkan itu berkali-kali sambil menangis. Akhirnya aku menangkap apa yang ia ucapkan. “Mianhae,” katanya.
“Tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah mencintaimu. Lihat, semuanya akan baik-baik saja ‘kan? Aku hanya ingin kau tetap seperti langit cerah, seperti awan putih. Ya, kau harus selalu tersenyum seperti tak pernah terjadi apa-apa,” setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Aku berusaha tersenyum dan menyembunyikannya. Air mata itu malah menetes lebih deras. “Sial, kenapa aku menangis?”
“Jiyong-ah,” katanya ketika ia sudah akan pergi. “Gomawo.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu ia pergi.
______________
No comments:
Post a Comment