Genre: Romantic, Action, Friendship
Cast: G-Dragon (Kwon Ji-Yong), Kim Haneul (yourself), TOP (Choi Seung-Hyun), Choi Si-Won
Based on: Wedding Dress MV, Lies MV, Day by Day MV, Grenade by Bruno Mars

Aku tahu kisah seperti ini hanya ada dalam film atau novel. Cerita kacangan yang murahan namun tetap banyak diminati. Cerita khayalan tapi berupa kenyataan. Cerita cinta yang bahkan aku sendiri sudah bosan mendengarnya. Tapi ini benar. Kisahku. Hanya ada aku, dia, dan dua orang bajingan itu.
Dia lembut. Sorot matanya tak akan pernah bisa kulupakan. Dia memberiku keteduhan saat melihat matanya dan menelusuk ke dalam batinku. Setiap senyuman yang terukir di bibirnya sama sejuknya dengan angin di musim semi. Sejuk dan hangat. Jika aku adalah sebuah rumah pohon, dia adalah daun-daun hijau rindang yang melindungiku dari matahari dan hujan agar aku tidak berlumut dan rapuh.
Dia dengan nama indahnya. Kim Haneul.
Entah bagaimana harus kumulai ceritaku. Tapi kurasa bagaimanapun juga aku harus memulainya.
__________
Coffee Shop, 05.34 PM
Sebuah cincin perak melingkar di jari manisnya. Ia terus memainkan cincin itu sambil sesekali menyesap kopinya. Cuaca Seoul sedang sangat buruk hari ini. Dingin sekali. Ditambah dengan suasana kaku yang semakin membuat atmosfir di sekelilingku seakan mencekik. Haneul masih terus diam dan aku masih tak berani untuk menatapnya.
Meskipun kami sudah sepuluh tahun bersahabat, tapi terkadang aku merasa canggung dengannya. Bukan karena usianya yang lebih tua 3 tahun dariku, tapi sikap misteriusnya yang terkadang membuatku tersiksa. Memang ia selalu tersenyum, tapi aku rasa selalu ada hal lain di balik senyumannya. Selalu ada hal yang membuatku bertanya-tanya.
“Jiyong-ah, bagaimana kuliahmu?” tanyanya sambil tersenyum. Ia memperbaiki tatanan rambutnya lalu menatapku.
“Baik.. noona,” jawabku singkat. Percakapan singkat yang canggung semacam ini yang membuatku sulit bernapas.
Kim Haneul tersenyum dengan senyuman hangatnya. “Aku mau bercerita,” katanya pelan. Ini dia, pikirku dalam hati. Aku tahu bahwa ia akan menceritakan tentang pacarnya padaku sekarang.
“Aku ingin kau berterus terang kepadaku,” tatapannya semakin menusuk. Aku mengangguk. “Kau suka padaku?” tanyanya lembut.
Aku tersedak. Aku menelan ludah dan terbatuk sedikit. Aku mengacak-ngacak rambutku dengan canggung. Pertanyaan ini benar-benar yang kubenci. Sebenarnya aku ingin bilang Ya! Aku sangat mencintaimu, noona! Tapi otak dan bibirku tidak bekerja dengan sinkron. Bukannya mengucapkan kata-kata itu, aku malah terus terbatuk-batuk.
“Uhuk..uhuk.. noona.. aku.. uhuk..uhuk,” kataku sambil terus batuk.
Minji tertawa kecil lalu bangkit dan menepuk-nepuk punggungku. Aku tersipu malu dan tertawa. “Jadi.. apa jawabanmu, Jiyong?” Tanya Minji lagi sambil kembali duduk di kursinya.
“Aku.. tidak suka,” jawabku. Ekspresi Haneul membeku. Aku tertawa kecil lalu melanjutkan. “ Maksudku, aku bukan suka. Tapi aku mencintai noona. Seperti aku mencintai keluargaku sendiri.”
“Jadi, kau mencintaiku sebagai seorang noona?” tanyanya lagi. Aku tahu ini pertanyaan menjebak. Terkadang wanita memang suka membuat pertanyaan yang menyudutkan pria. Pertanyaan semacam ini persis sama dengan pertanyaan: ‘Hey, apa aku kelihatan gemuk?’
Aku berpikir sebentar. Memikirkan beberapa jawaban yang mungkin bisa menjadi jawaban yang benar.
“Kau tinggal jawab ‘ya’ atau ‘tidak’,” katanya sambil menyesap kopinya.
Aku mendesah. “Ya,” jawabku. Sumpah aku tak mau ia meyangka aku seorang laki-laki picisan yang suka dengan wanita lebih tua.
Haneul menghembuskan napasnya keras-keras. “Arasseo,” ucapnya pelan. Ia mencari-cari sesuatu dalam tas tangannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak merah dan membuka kotak itu. Isinya sebuah cincin perak yang sama dengan yang ia pakai di jari manisnya. “Kupikir, aku bisa memberikannya padamu sebagai teman. Atau.. noona.”
Ia menggenggam tanganku lalu memasukan cincin itu ke jari manisku. Tunggu, aku tidak mengerti ini, pikirku. “Maksudmu..” kataku terbata-bata.
Haneul mengambil tas jinjingnya lalu melingkarkan syal di lehernya. Ia bangkit dan tersenyum padaku. “Padahal aku butuh orang untuk mencintaiku sebagai seorang wanita,” katanya sambil berlalu meninggalkan aku yang terpana di sebuah meja di toko kopi.
“Sialan,” umpatku.
_____________
Jiyong’s Room, 07.17 AM
Ponselku bergetar dan membangunkanku dari tidur. Aku sedikit terperanjat dan mengerang. Aku meraba-raba tempat tidurku dan akhirnya menemukan ponsel itu. Aku menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang menelepon. Siapapun itu, yang jelas ia harus bertanggung jawab karena telah membangunkanku di pagi yang sebuta ini.
“Yeoboseyo?” sapaku malas-malasan, sedikit membentak.
“Jiyong-ah? Kau sudah bangun?” Tanya seseorang dengan suara selembut kapas. Aku tersenyum dan segera bangun begitu mendengar suara itu menyebutkan namaku. Kim Haneul.
“Ya,” jawabku sedikit tersipu. Tidak biasanya ia meneleponku sepagi ini. “Ada apa, noona?”
Ia tertawa kecil. “Aku punya kabar gembira untuk kita,” katanya riang.
“Kita?” tanyaku heran.
“Ya. Seunghyun baru pulang dari Amerika. Kita akan berkumpul bersama lagi setelah 5 tahun kita hanya berdua.”
“Ah, begitu?” jawabku lemah. Entah kenapa kurasa ini bukan berita baik bagiku.
Kami mengobrol sebentar. Dengan topik yang sama sekali tidak membangkitkan semangatku. Choi Seunghyun. Aku mendengarkan setiap kata-kata Haneul dengan pikiran yang berkelana. Aku membuka kotak serealku dan mulai memakan sarapanku. Haneul bercerita tentang bagaimana ia merindukan saat-saat kami bertiga bermain bersama sepuluh tahun silam. Ia juga bilang ia akan mengajakku dan Seunghyun untuk bermain bersama-sama lagi. Kalimat-kalimatnya meluncur dengan lancar dan penuh semangat. Sedangkan aku mendengarkan dengan kening berkerut dan bibir bergetar menahan emosi.
Aku juga tak tahu mengapa aku semarah ini. Aku merindukan Seunghyun. Sangat merindukannya. Ia seperti kakakku sendiri. Tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain. Termasuk bagaimana perasaanku terhadap Haneul. Saat itu ia hanya tersenyum dan mengacak-ngacak rambutku. Ia bilang ‘jangan sampai perasaanmu menghancurkan persahabatan kita’. Kemudian, ia memutuskan untuk belajar musik di Amerika. Ia sempat mengajakku bersamanya, tapi kurasa belajar musik di Korea sudah cukup bagiku. Ia bilang sesuatu padaku saat ia hendak tinggal landas. Ia bilang, ‘tolong jaga Haneul. Untukku.’ Dan saat itulah aku tahu bahwa Seunghyun juga suka pada Haneul. Ketika mendengar ucapan itu keluar dari mulutnya, jantungku seperti tersambar petir. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk dan melihat punggungnya yang bidang menjauhi aku dan Haneul yang menangis tersedu-sedu.
Terkadang aku berpikir, mungkin perasaanku ini adalah sebuah kesalahan. Seunghyun mungkin orang yang tepat untuk Haneul. Umurnya setahun lebih tua dari Haneul, dan empat tahun lebih tua dariku. Setidaknya ia bisa menjaga Haneul lebih baik daripada aku. Tapi pikiran itu kutepis paksa dan aku terus menggemakan pikiran egoisku sendiri. Aku bisa menjaga Haneul, meskipun aku harus menjual jiwaku untuknya.
Setelah selesai menelepon, kami sepakat untuk bertemu satu sama lain dan bermain bersama minggu depan. Akhirnya setelah lima tahun, aku akan bertemu karibku. Atau mungkin, sainganku?
____________
Coffee Shop, 15.23 PM
Lagi-lagi cuaca Seoul sangat buruk. Hujan turun dengan deras dan angin menderu-deru. Untung saja aku sudah datang ke café ini sebelum hujan turun, kalau tidak, mungkin sekarang aku sudah kebasahan.
Aku melihat jam tanganku. Haneul dan Seunghyun terlambat 20 menit. Mungkin mereka terjebak hujan, pikirku. Aku memandangi jalan melalui sebuah kaca besar yang basah terkena air hujan dan melamun.
“Jiyong?” Tanya seseorang. Aku sedikit tersentak dan menoleh ke arahnya. Ternyata Seunghyun. Ia telah tumbuh menjadi seorang pria tegap yang ya.. kuakui sangat tampan. Sorot matanya tetap sama, lembut tetapi tegas. Aku tersenyum dan kami berpelukan sebentar. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik, hyung,” jawabku sambil tersenyum. “Bagaimana kabar hyung sendiri?”
“Cukup baik. Sekolahku selesai dan kini aku bisa kembali ke tanah kelahiranku,” katanya. Ia memandang keluar jendela lalu melanjutkan, “cuaca Seoul benar-benar parah.”
“Hyung akan menetap di sini?” tanyaku – berharap Seunghyun menjawab ‘tidak’.
Seunghyun mengangguk. “Bagaimana pun juga, aku tetap ingin di Seoul. Meskipun aku punya banyak pekerjaan di Amerika, tapi aku rela meninggalkannya untuk Seoul. Lagipula, aku tak bisa meninggalkan Haneul lebih lama lagi.”
Napasku tercekat. Aku tak berani membuka mulutku. Aku hanya melihatnya dengan tatapan kosong dan aku masih belum bisa bernapas.
“Terima kasih sudah mau menjaga Haneul untukku,” katanya ramah.
Aku hanya membalas dengan tatapan tajam tanpa sedikit senyum terulas di wajahku. “Aku menjaganya bukan untuk hyung,” kataku pelan. Aku bahkan tak menggunakan otakku untuk mengucapkannya.
Seunghyun tersenyum lalu perlahan-lahan senyumnya berubah menjadi sebuah tawa. “Kau serius menyukainya?”
“Hyung pikir aku bercanda?”
“Tidak. Maksudku aku tak percaya aku akan menjadikan teman baikku sendiri sebagai musuh.”
“Aku juga.”
Tawa Seunghyun menghilang. Ia menatapku dengan serius. “Ini awalnya. Dan kurasa harus ada yang mengakhirinya. Bagaimana pun juga, aku yang akan melakukannya.”
Saat itu Haneul datang bersamaan dengan seorang pelayan yang memberikan kami daftar menu. Kini pandanganku menjadi kabur. Aku tak berani melihat Haneul dan Seunghyun berpelukan dan melepas kangen. Sekelilingku seperti berubah menjadi hitam putih dan aku terjebak di antara kedua warna itu.
_______________
Bermula dari sebuah pertemuan suram di sebuh café kopi, semuanya dimulai. Persaingan antara aku dan Seunghyun.
Aku dan Haneul menjadi semakin dekat. Sedekat kami yang dulu kanak-kanak, mengejar kupu-kupu dan tertawa bersama. Kami sering menghabiskan waktu dan sepertinya duniaku kembali ke memori sepuluh tahun silam.
Kami – aku, Haneul, dan Seunghyun, menyewa sebuah van kecil dan berkeliling ke sebuah desa. Meninggalkan semua rutinitas kami. Aku meninggalkan kuliahku, Haneul meninggalkan pekerjaannya sebagai fashion-stylist, dan Seunghyun juga meninggalkan gitarnya di apartemennya. Pada awalnya Haneul dan Seunghyun seperti memiliki dunia. Mereka selalu berdua sementara aku dibelakang mengikuti kemanapun mereka pergi, tapi kini, aku memberanikan diri untuk berada sedekat mungkin dengan Haneul.
Kami melakukan banyak hal bersama, mendengarkan musik bersama, duduk di atas van bersama, merasakan angin yang menderu-deru bersama, melihat tetesan air hujan yang membasahi permukaan bumi bersama, tertawa bersama, bercanda bersama. Sepertinya waktu terhenti saat aku bersamanya. Aku menikmati setiap detik yang kuhabiskan bersama Haneul.
Tapi detik-detik yang berharga itu tak abadi. Setiap kami mendengarkan musik, Seunghyun datang dan memainkan melodi indah gitarnya; menggiring Haneul menjauh dariku. Saat kami duduk di atas van dan menikmati angin yang menderu-deru menggelitik telinga kami, ia datang membawa selimut dan melingkupi tubuh Haneul, memaksanya terbalut dalam pelukan Seunghyun. Saat kami melihat tetesan hujan, ia datang dan menutup mata Haneul lalu tertawa bersamanya, menyuruhnya untuk berhenti melihat aku. Ya, waktu memang seakan berhenti saat aku bersama Haneul, tapi Seunghyun membuat waktu itu bergulir kembali dan setiap detiknya, kurasakan debar jantungku yang siap meledak kapan saja.
Kini aku tahu, Seunghyun telah mengambilnya dariku. Ia telah mengambil apa yang harusnya kudapat. Dan aku tak suka itu.
_____________
Kim Haneul’s House, 11.30 PM.
Sebuah kotak berwarna putih tersimpan dengan baik di saku celanaku. Aku merogohnya dan tersenyum mantap. Usiaku memang masih 20 tahun, tapi aku sudah tahu apa yang akan kulakukan dan aku akan mengambil semua resiko yang ada. Demi perasaanku.
Aku memantapkan diri lalu mengetuk pintu rumah Haneul. Terdengar suaranya dari dalam. Senyumku semakin mengembang lebar.
Haneul membuka pintu dan menatapku sedikit kaget. “Jiyong?” tanyanya masih dengan ekspresi yang sama.
“Maaf mengganggu noona malam-malam begini, tapi ada yang harus aku bicarakan,” jelasku panjang lebar, dengan wajah merona dan suara yang bergetar.
“Kebetulan sekali. Aku dan Seunghyun juga punya kabar untukmu. Tadinya aku akan ke rumahmu besok pagi tapi..”
“Seunghyun hyung?” tanyaku memotong ucapan Haneul.
Haneul mengangguk. “Dia ada di dalam. Ayo masuk dulu!”
Seunghyun sedang duduk di sana. Di ruang tamu Haneul sambil menyesap segelas teh. Aku menelan ludah dan duduk di sampingnya. Seunghyun melirik ke arahku lalu tersenyum. Entah senyuman ramah atau senyuman keangkuhan. Apapun itu, yang jelas aku tak membalas senyumannya.
Seunghyun tertawa melihat sikapku yang angkuh. “Kita memang punya otak yang sama,” katanya santai.
Aku tak peduli, jawabku dalam hati.
Haneul datang dari arah dapurnya membawa sebuah nampan kecil berisi segelas teh. Ia menyuguhkan cangkir teh itu kepadaku lalu duduk di hadapan aku dan Seunghyun.
Awalnya ia tersenyum pada kami, tapi saat ia melihat ekspresi muram kami senyumannya memudar. “Dingin sekali cuacanya,” katanya berusaha mencairkan suasana. Tak ada satupun dari kami yang menanggapinya. “Arasseo. Karena suasananya benar-benar tidak enak, sebaiknya kita percepat saja,” kata Haneul. “Kau tahu kan kalau aku ingin sekali menikah muda, Jiyong-ah?” tanyanya. Aku meliriknya dengan pandangan tajam tanpa ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutku. “Aku tahu ini mendadak, dan mungkin kau akan kesal mendengarnya tapi kulakukan ini demi kebaikanmu sendiri. Aku..”
Perasaanku semakin tidak enak. “Jadi, apa maksud noona?” tanyaku emosi.
“Kami akan menikah,” kata Seunghyun dengan singkat sambil menyesap tehnya dengan santai.
Aku menatap Haneul dengan pandangan memelas dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Aku menyesal. Sedikit lagi aku mendapatkannya. Sedikit lagi aku akan berhasil mempertahankan milikku. Sedikit lagi lalu si bajingan ini mencurinya. Tepat di hadapanku. Tepat di hadapannya.
“Seharusnya aku tak pernah mengatakannya pada hyung,” kataku pelan.
“Apa?” Tanya Seunghyun polos. Entah memang polos atau ia berpura-pura polos.
“Bukan. Bukan itu maksudku. Seharusnya aku tak pernah mengenalmu, Seunghyun hyung,” kataku kasar.
“Tunggu dulu! Aku tak ingin ada pertengkaran di sini! Kenapa kau tiba-tiba jadi seperti ini Jiyong?” bentak Minji berusaha melerai kami.
“Demi Tuhan seharusnya aku yang bertanya pada kalian! Seharusnya aku yang bertanya pada kau, Choi Seunghyun!” teriakku dengan emosi. Kepalaku terasa pening dan wajahku sangat panas. Aku mengepalkan tanganku yang bergetar.
“Dengarkan aku, Jiyong, aku rasa kau masih terlalu muda untuk mengerti arti kata pernikahan yang sesungguhnya, aku..”
“Terlalu muda? Karena aku jauh lebih muda darimu jadi aku tak berhak memiliki apa yang harusnya jadi milikku? Kau pikir aku apa hah? Kau minta aku menjaga Haneul juga persahabatan kita tapi kini kau ludahi semua perkataanmu itu, kau pikir aku apa? Kau pikir aku bonekamu yang bisa seenaknya kau mainkan? Tidak. Aku bukan mainanmu.” Napasku terengah-engah dan dadaku naik turun menahan emosi.
“Jiyong! Sudah cukup. Meskipun aku tak mengerti semua kata-katamu, tapi bisakah kita melupakan ini?” Haneul mendesah sambil memegangi kepalanya. “Tadi kau bilang ada hal yang mau kau bicarakan denganku? Apa itu?”
Aku merogoh saku celanaku dan meraba sebuah kotak. Aku menunduk lalu tersenyum terpaksa. “Sudah terlambat, noona.”
“Tidak ada kata terlambat dalam kamusku.”
“Mungkin noona harus beli kamus yang baru.”
Aku melangkahkan kakiku menjauh dari rumah Kim Haneul dengan perasaan tertekan di jantungku. Debar jantungku seakan berlomba-lomba untuk berdetak. Aku sangat marah tapi aku tak bisa melakukan apa-apa lagi. Sekuat apapun aku berteriak dan melepaskan emosiku, dia takkan ada untukku.
Aku merogoh saku celanaku lagi dan mengeluarkan kotak putih yang tersimpan di dalamnya. Aku memandangi kotak putih itu dengan kening berkerut. Bahkan kini aku lupa untuk apa aku membelinya. Aku melemparkan kotak putih itu ke jalanan. Sama seperti apa yang sudah kulakukan untuk Haneul dan ia melemparkan semuanya ke tempat sampah.
Hujan mulai turun membasahi jalanan kota Seoul dan mungkin ini saatnya untuk menangis.
_______________
Kim Haneul and Choi Seunghyun’s Wedding, 06.43 PM
Seharusnya aku. Seharusnya aku yang memakai jas itu dan menggandeng tangannya menuju ke pelaminan. Seharusnya aku. Bukan temanku yang bernama Seunghyun. Bukan dia.
Aku terus memainkan jariku di atas piano. Membiarkannya menari dan mendentingkan melodi indah. Memang seharusnya melodi ini menjadi melodi terindah yang pernah kudengar sebelumnya tapi kini melodi itu menjadi melodi yang paling menyakitkan.
Haneul kelihatan cantik dengan gaun putih sucinya yang ia gunakan. Dengan seikat bunga yang ia genggam erat, dengan pipi merona dan senyum mengembang, dengan sorot mata lembut dan langkah yang anggun. Dia sangat cantik, melebihi semua kecantikan yang ada. Ia melirik ke arahku dan melambaikan tangan dengan bersemangat. Aku tersenyum dan membalas melambai, di balik pianoku. Ia memalingkan wajah dan tersenyum pada Seunghyun, dan ia telah membunuhku secara perlahan.
_____________
No comments:
Post a Comment