Years by years passed by
Penjara bukan rumahku lagi. Kini aku bebas menghirup udara luar. Bebas berlarian. Bebas mengejar impianku. Bebas menjemput cintaku. Meskipun aku tahu aku takkan bisa menjadi pemusik lagi, tapi aku tak begitu menyesalinya. Masih ada jutaan jalan yang bisa kutempuh, untuk apa aku harus berhenti melangkah di satu jalan jika aku masih punya jutaan?
Begitu kakiku menginjak dunia di luar pagar besi berkarat, aku langsung berlari. Berlari mengejar Haneul yang pasti sedang menungguku. Aku benar-benar merindukannya. Entah sudah berapa tahun aku tak melihatnya. Sepertinya aku berlari lebih cepat daripada bis karena sungguh, aku tidak bisa merasakan kakiku lagi. Meskipun begitu, aku tetap berlari dengan senyuman mengembang di wajahku. Terkadang aku berhenti untuk tertawa keras. Aku sungguh-sungguh bahagia.
Aku berhenti ketika sekilas aku melihat Kim Haneul. Aku mendekatinya agar bisa melihatnya lebih jelas. Ya, kini aku yakin bahwa itu memang dia! Dia memang Kim Haneul yang amat kurindukan. Aku tersenyum senang dan merapikan bajuku. Baru saja aku mau melangkah, ada seorang pria yang menghampirinya. Aku bersembunyi di balik sebuah mobil dan memperhatikan mereka.
Pria itu jelas bukan orang yang kukenal. Haneul memandang wajahnya dengan pandangan lurus yang dalam. Pria itu kemudian menyentuh pipi Haneul, lalu mengelusnya. Haneul kemudian mengucapkan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Lalu ia memberikan sebuah cincin pada pria itu dan aku hanya bisa melihatnya. Cincin pemberianku. Cincinku.
Aku menutup mulutku karena kaget. Tak percaya ia berani memberikan cincinku pada orang lain. Setelah ia memberikannya, ia meninggalkan pria itu.
Dengan api yang membara di mataku, aku menghampiri pria itu.
Hatiku yang hancur seperti sebuah ombak. Hampir tumbang seperti angin. Lalu hilang seperti asap. Rasa perih ini tidak bisa hilang seperti sebuah tato. Langkahku terseok-seok seperti dunia ini akan longsor. Hanya debu yang kini ada di pikiranku.
“Dia milikku!” teriakku sambil melayangkan sebuah pukulan ke wajahnya. Ia tersungkur lalu duduk sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan.
Ia meludah karena ada darah di mulutnya lalu mencibir. “Ji. Yong?” katanya sambil terbatuk.
Aku tak mengerti bagaimana bisa ia tahu namaku, yang jelas, mendengarnya menyebutkan namaku seperti itu membuatku tambah emosi. Aku kembali menghampirinya dan meremas kerah bajunya. Memaksanya untuk kembali bangun, lalu memukulinya lagi. Ia kembali jatuh lalu terbatuk-batuk.
“Bangun! Hadapi aku!” suruhku dengan suara dan tangan yang bergetar menahan emosi.
Ia mencibir lagi lalu bangun. Ia mulai menghampiriku dan melayangkan pukulannya di wajahku. Kami terus saling memukul seperti orang gila. Meskipun orang-orang berusaha memisahkan kami, aku tak bisa berhenti karena aku tak mau berhenti.
Setelah kami cukup babak belur, kami mulai berhenti memukul. Aku memegangi lututku karena kepalaku pusing. Darah masih bercucuran dari mulutku dan pandanganku kabur karena mataku bengkak. Aku berusaha berdiri tegak, tapi perutku benar-benar seperti tertusuk pedang. Kemudian aku menatap langit dan mulai menangis. Bukan menangisi luka-lukaku, tapi aku menangisi nasibku.
Kenapa aku selalu tak berhak berada di sampingnya? Ia selalu membutuhkan aku tapi ia tak pernah menginginkanku. Kenapa aku selalu mengalami nasib sial? Kenapa selalu aku?
Kim Haneul, aku ingin sekali bertanya padamu. Apakah pernah aku membuatmu menangis seperti bajingan yang kau bunuh itu? Bisakah kau melihatku? Apakah kau sudah benar-benar melupakanku? Aku benar-benar khawatir. Khawatir karena aku takut tak bisa lagi berada di dekatmu bahkan bicara padamu. Aku telah menghabiskan malam yang panjang sendirian, berusaha mengalihkan pikiranku darimu, tapi apakah kau percaya kalau aku tak bisa? Pernahkah kau memikirkanku? Meskipun hanya sekali, pernahkah kau berpikir kau akan mencintaiku?
Tangisanku semakin keras dan aku mulai berteriak. Aku duduk lemas sambil memeluk lututku – merasakan seluruh rasa sakit di badanku. Pria itu beranjak dari tempatnya lalu menghampiriku sambil memegangi rahangnya. “Kau masih mau disini? Kalau begitu aku duluan,” katanya santai, seolah-olah kami tak pernah berkelahi sebelumnya. Aku menghiraukannya lalu kembali pada lamunanku sendiri.
____________
Jiyong’s Room, 07.56 PM
Aku meneriakkan semua penderitaan yang kudapat di kamar mandi. Ada banyak luka di tubuhku, tapi luka di hatiku seribu kali lebih menyakitkan. Kurasakan air yang jatuh ke tubuhku terasa sangat dingin, meskipun seharusnya terasa hangat. Aku menatap diriku dalam cermin dan mencibir. Aku menonjok cermin itu dan menghancurkannya hingga kepingan-kepingan kecil karena aku tak tahan melihat wajahku sendiri. Aku benar-benar seorang pecundang. Aku terus kehilangan apa yang seharusnya kumiliki.
_____________
Parking Lot, 10.15 PM
Sudah berhari-hari aku berusaha melupakannya dengan menjauhkan pikiranku dari apapun yang menyangkut nama Kim Haneul. Aku menghabiskan waktuku bersama teman-temanku. Aku berusaha menemukan kebahagian lagi meskipun aku tak akan pernah bahagia tanpa Kim Haneul di sampingku.
Sialnya, kisah cinta tragis mulai menghampiriku lagi saat aku hendak pulang bersama teman-temanku. Aku bertemu dengan pria itu dan Kim Haneul di dalam sebuah mobil putih tepat di depan wajahku.
Aku berusaha mengabaikan mereka – berpura-pura tak sadar kalau Haneul ada di sana karena sepertinya Haneul benar-benar muak melihat wajah orang yang rela masuk penjara demi dirinya. Tapi usahaku untuk mengabaikan mereka usai ketika pria itu merangkul Haneul. Bagaimana bisa aku hiraukan rasa cemburu ini? Jadi, aku keluar dari mobilku lalu menghampiri mobil mereka. Aku merangkak di kap mobil mereka dan mulai memukul-mukuli kaca depannya.
“KELUAR KAU KIM HANEUL!” teriakku pada Haneul. Ia menatap mataku lalu memalingkan wajahnya. Aku termenung tidak percaya terhadap apa yang baru saja Haneul lakukan padaku. Pria di sebelahnya juga memandangiku dengan tatapan merendahkan lalu tersenyum meremehkan. Ingin sekali rasanya aku meludahi wajah tersenyumnya! Aku benar-benar ingin merobek wajah pria itu dan menginjak-injaknya.
Aku benci diriku. Benci diriku yang tak sanggup membenci Haneul, setelah semua pengkhianatan yang ia lakukan kepadaku. Benci karena aku tak mampu menunjukan bahwa aku kuat tanpanya.
“KELUAR KAU!” teriakku lagi.
Akhirnya Haneul keluar dari mobil lalu menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. Aku turun dari kap mobil mereka lalu menatapnya lekat dengan sinaran kerinduan dari mataku. Ia hanya membalasnya dengan tatapan sinis, lalu ia menamparku.
“Kau seperti orang gila, Jiyong!” katanya ketus. Lalu setitik air mata keluar dari sudut matanya yang indah.
“Aku memang gila, Haneul.”
“Kau membuatku malu, kau tahu!”
“Dan kau membuatku tersiksa dengan semua sikapmu ini!” teriakku. “Bagaimana bisa aku dipermainkan seperti ini? Wanita yang sangat kupercaya, kini menginjak-injakku. Perlahan kau memunggungiku dengan dingin. Apa kau sadar, apa yang akan kau lakukan tanpa aku? Akan jadi apa kau jika aku tak datang dan menyelamatkan masa depanmu?”
“Kau tak seharusnya menemuiku,” katanya dingin.
Aku mencibir lalu merengkuh rahangnya dan memaksanya melihat mataku. “Aku beri kau satu kesempatan lagi untuk menyadari bahwa kau salah mengenai aku. Aku bukan tentaramu. Kau takkan lagi menertawaiku saat aku berteriak memanggilmu. Kau tak bisa apa-apa tanpa aku.”
Aku melepaskan rengkuhanku dan pergi meninggalkannya.
___________
Sudah tiga bulan berlalu semenjak kejadian di tempat parkir itu. Hari demi hari kulalui dengan berada di keramaian karena aku tak mau sendirian. Karena setiap aku sendirian, aku selalu memikirkannya dan itu sangat menyakitkan. Dan setiap aku sendirian, aku selalu membanting-bantingkan barang di sekitarku karena aku tak bisa membanting bayangannya dari otakku.
Aku tahu aku membencinya. Kini aku bisa membencinya. Aku kini tahu bahwa ia, perempuan jalang bernama Kim Haneul, telah menggunakan aku untuk membebaskannya dari masalah. Aku sudah bosan menangis untuknya. Kini aku harus hidup untuk diriku sendiri, bukan untuknya. Tapi tetap saja, bayang-bayangnya selalu menghantuiku meskipun aku tak tahu apakah itu karena aku mencintainya atau membencinya. Lagi-lagi aku terjebak di antara keduanya.
Aku membuka laptop-ku dan melihat beberapa file lama di sana. Sebelum aku masuk penjara. Sialnya, wajah Haneul menghiasi wallpaper-ku. Aku tersenyum sekilas lalu segera tersadar bahwa aku tak seharusnya senang melihatnya. Aku berusaha membodohi diriku sendiri dengan meyakinkan bahwa aku tidak merindukannya. Aku tidak merindukan senyumannya yang menyapaku. Aku tak merindukan suaranya yang selembut kapas. Aku tak merindukan matanya yang indah. Aku tak merindukan segala memori indah bersamanya. Aku bahkan tak merindukannya sama sekali. Tapi aku tak bisa memungkiri satu hal, aku rindu untuk merindukannya.
Aku menjauhi laptop-ku dan memandang ke luar jendela. Aku heran kenapa cuaca Seoul selalu sama dengan suasana hatiku. Aku menatap langit dan semuanya kelabu. Tak ada sedikitpun warna biru atau cahaya matahari.
Ding. Laptop-ku berdenting, menandakan bahwa ada e-mail yang baru masuk. Dengan malas-malasan aku menghampiri laptop-ku lagi dan mengecek isi e-mail itu. Dari alamat e-mail yang tak kukenal. Pesannya berisi: “Temui aku di rumah sakit pusat di Seoul. Kim Haneul membutuhkanmu. Akan kujelaskan apa yang perlu kau ketahui di sana. Kebenaran mengenai kau, aku, Kim Haneul, dan Seunghyun.”
Aku membelalakan mataku. Ada apa lagi ini? Aku sedang berusaha mengatur hidupku seperti semula lagi, dan e-mail bodoh ini seakan-akan meruntuhkan semuanya. Membutuhkanku? Kim Haneul? Lagi-lagi membutuhkan aku? Kali ini siapa lagi yang ia bunuh?
“Aish!” umpatku kesal sambil menggaruk-garuk kepalaku. Aku tak tahu apa aku harus menuruti kata-kata orang asing ini, atau terus mengikuti prinsip asalku. Laptop-ku berdenting lagi. Dari orang yang sama. Kini pesannya berisi: “Demi Tuhan, Jiyong! Ia sekarat! Sedang apa kau?!”
Tak perlu lagi berpikir. Aku mengambil jaketku dan menghambur ke luar pintu. Ku abaikan air hujan yang membasahi kepalaku dan tubuhku. Padahal aku sudah bosan berlari, tapi kini, lagi-lagi aku melakukannya.
_________________
Hospital, 15.43 PM
Aku sampai di rumah sakit dan kebingungan. Orang itu tak memberitahuku di mana dia dan Haneul. Aku memegangi dadaku yang tersentak-sentak. Jantungku lagi-lagi berlomba untuk berdetak. Kini aku mulai khawatir. Kim Haneul, rumah sakit, sekarat. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?
“Anda tidak apa-apa, tuan?” Tanya seorang suster kepadaku.
Aku menatapnya tajam. “Aish!” umpatku. Suster itu tampak kaget lalu ia berbalik dan hendak pergi. Aku memegang pundaknya sambil berusaha menstabilkan napasku. “Haneul,” kataku pelan. Ia masih kelihatan bingung. “Di mana Kim Haneul?”
“Kim Haneul yang mana?” Tanya suster itu lagi.
“Kim Haneul! Orang asing itu bilang dia di sini dan sekarat! Kumohon beritahu aku di mana dia!” bentakku pada suster itu.
“Kami punya seorang pasien bernama Kim Haneul dengan kondisi kritis. Ia berada di ruang ICU di lantai dua.”
Tak perlu pikir panjang aku segera ke ruangan yang suster itu tunjukkan. Di sebuah koridor aku melihat pria itu lagi. Pria yang waktu itu berselingkuh dengan Haneul. Aku berusaha mengabaikannya, tapi ia memegangi pergelangan tanganku. Aku mendesis lalu melihatnya dengan pandangan marah. Ia melepaskan tanganku lalu memberiku sebuah cincin. Cincinku yang waktu itu Haneul berikan padanya. Aku menatap cincin itu tidak percaya.
“Mengapa kau berikan ini padaku?” tanyaku pelan.
“Maaf karena telah membohongimu. Hanya kau yang ia cintai.”
Aku memegangi cincin itu dengan rasa sakit di hatiku. Ia mencintaiku? Kim Haneul mencintaiku? Tanyaku dalam hati.
“Aku akan menjelaskan semuanya sekarang,” kata pria itu tenang.
“Tidak,” jawabku. “Aku harus tahu keadaan Haneul dulu. Di mana dia?”
“Di dalam. Tak ada seorang pun yang boleh masuk. Jadi, lebih baik kita menunggu di sini sampai dokter keluar dan memberi kita kabar.”
“Apa maksudmu dia sekarat?”
“Akan kujelaskan satu per satu, jadi kumohon kau tenang dulu, Jiyong.”
“Kenapa kau tahu namaku? Siapa kau?”
“Oke. Kujelaskan sekarang,” katanya sambil menenangkanku. “Namaku Siwon. Choi Siwon. Aku teman Kim Haneul. HANYA temannya. Aku seorang psikiater dan ia memintaku untuk berbuat semua ini. Berpura-pura menjadi pacarnya agar membuatmu cemburu dan membencinya.”
“Tunggu,” kataku memotong ucapannya. “Kenapa ia ingin aku membencinya?”
“Karena ia sangat mencintaimu,” jawabnya lurus.
“Aku semakin tidak mengerti.”
“Kau pikir kenapa ia tega membunuh Seunghyun?” tanyanya dengan nada menginterogasi.
“Entahlah. Awalnya kupikir karena Seunghyun.. menyiksanya?” jawabku tidak yakin.
“Bukan. Memang Seunghyun sedikit kesal dan..ya..dia menyiksanya, tapi,” ia menelan ludah. “Alasan sebenarnya yaitu Haneul selalu memikirkanmu. Ia tak pernah bahagia bersama Seunghyun.”
“Lalu kenapa ia tak menungguku melamarnya?” tanyaku sedikit membentak.
“Karena kau terlalu muda untuknya. Ia pikir kau pantas mendapatkan wanita yang lebih sempurna dari dirinya. Kau sendiri yang bilang kalau kau hanya mencintainya sebagai noonamu saja. Iya kan?”
“Tak kusangka jawaban ‘ya’ pada pertanyaan itu bisa membuat masalah yang serunyam ini.”
“Biar kulanjutkan ceritaku. Seunghyun benar-benar muak melihat Haneul yang terus murung dan terus menolaknya. Ditambah Haneul tidak bisa punya anak.”
Aku memandangnya dengan mata terbelalak kaget. Aku membuka mulutku untuk bertanya kenapa tapi tak ada suara yang keluar.
“Kanker. Kanker rahim,” jawabnya seakan-akan ia bisa membaca isi kepalaku. “Ia tak mau membuatmu merasa terbebani dengan kondisinya. Percaya padaku, ia menangis setiap waktu. Setiap kali ia memikirkan dirimu yang berlarian dikejar polisi, kau yang berada di penjara dan masih mencintainya. Kau yang menjual jiwamu demi dirinya. Ia menangisi dirinya yang egois. Ia sama bingungnya denganmu. Sama sedihnya.”
“Maka dari itu ia berselingkuh tepat di depan mataku?”
“Ia tak mau membuatmu menangis untuknya lagi. Dia bilang hanya itu yang bisa ia berikan untuk membahagiakanmu. Ia percaya; menjauhkanmu dari dirinya dapat membuatmu hidup tenang dan nyaman.”
“Dia bodoh,” kataku sambil terisak. “Aku tetap menangis kan? Ia melakukannya dan aku tetap menangis!”
Saat itu seorang dokter keluar dari ruangan. Ia menatapku dan Siwon dengan pandangan suram. Aku tahu ada yang salah. Aku tahu.
“Semakin lemah. Mungkin ada yang mau mengucapkan salam perpisahan padanya?” kata dokter itu pelan dengan wajah murung.
Jantungku semakin sulit berdetak. Tubuhku lemas dan oleng; Siwon menangkap tubuhku dan membopongku. Aku sudah tak bisa menangis lagi karena air mataku sudah kering. Aku memburu masuk ke ruangan tersebut dan menyuruh semua orang di dalamnya untuk keluar. Aku hanya ingin berdua dengan Kim Haneul sekarang.
Aku menghampiri sosok seorang wanita yang terbarung lemah tak berdaya dengan puluhan kabel di sekelilingnya. Aku melihat wajahnya yang tenang lalu mengusapnya. Rasa rinduku tak terbendung lagi. Aku berlutut lalu menggenggam tangannya yang dingin dan kurus.
“Kau tahu aku membencimu? Sangat membencimu,” tanyaku dengan lirih. “Saat kau berselingkuh di depan mataku, kau seperti telah mengunyahku sampai hancur lalu memuntahkanku lagi. Kau tahu, aku sepertinya ingin meledak saat itu.”
Aku mengecup tangannya lalu kembali bercerita. “Kau tahu aku bukan pembohong yang handal. Meskipun aku bilang aku membencimu kau pasti tahu aku sebenarnya tidak begitu. Kau harus tahu bahwa aku siap melakukan apapun demi dirimu. Jika kau minta aku lompat dari gedung, aku akan melakukannya. Aku akan jual jiwaku untukmu. Aku akan selalu berusaha membuatmu tersenyum meskipun aku akan tersiksa. Ya, aku akan melakukan segalanya untukmu meskipun kau takkan membalasnya. Aku rela.”
Aku menarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku berusaha menghangatkan tangan Haneul dengan napasku karena tangannya semakin dingin. “Tolong jangan tinggalkan aku lagi,” kataku sambil menangis pelan.
“Haneul, aku tahu aku takkan bisa memilikimu. Tapi cinta tidak selalu memiliki. Terkadang kita harus memberi. Kalau aku bisa, aku benar-benar akan memberikanmu nyawaku. Biarkanlah aku menggantikan takdirmu.”
Haneul seperti tersenyum dalam tidurnya. Ada setitik air mata di wajahnya. Aku berdiri lalu mengusap ai mata itu dan mengecup keningnya. Lalu tiba-tiba suara “beep” aneh yang panjang terdengar dan tangisku pecah. Dokter-dokter berdatangan dan menyuruhku menyingkir. Aku tetap bergeming sambil menggenggam tangan Haneul. Kumohon, aku tak mau kehilangan dia lagi. Apalagi untuk selamanya. Aku menangis tersedu-sedu menggumamkan namanya meskipun ia sudah tak bisa mendengarku lagi.
Tidak, aku tak mau ada kata selamat tinggal. Aku tak mau meninggalkannya lagi. Kumohon, yang aku inginkan hanya bersamanya. Tak kurang dan tak lebih.
Setelah cukup lama meratapi tubuh Kim Haneul yang tak lagi bernyawa, aku sadar suatu hal. Percuma aku bersedu sedan di sini. Toh, ia takkan pernah bisa bernapas lagi. Percuma meneriakki namanya sampai suaraku habis, ia takkan mendengarku lagi. Aku berdiri dan melepaskan tangan Hanel lalu membiarkan dokter-dokter itu mengurusnya. Dengan ekspresi kosong dan langkah sempoyongan aku keluar dari ruangan dingin itu. Siwon pun menangis saat aku melihatnya. Ia menundukan kepalanya sambil terisak.
Aku duduk di sampingnya dan ia menatapku dengan sedih. “Kau hebat, Jiyong. Setidaknya kau ada di sampingnya sampai akhir hayatnya. Aku salut padamu.”
“Ya,” jawabku; masih dengan ekspresi kosong. “Aku memang harus bersamanya.”
Kemudian aku berjalan meninggalkan Siwon yang memperhatikanku dengan heran. Aku terus melangkah menjauhi Kim Haneul. Ia kini sudah tak membutuhkanku di sini.
____________
Seoul Street, 17.45 PM
Kakiku berhenti di salah satu jembatan penyebrangan. Seoul masih di serbu hujan dan tubuhku benar-benar kedinginan juga kebasahan. Aku melihat mobil-mobil yang berlalu lalang di bawah. Tiba-tiba suara petir menyambar dan sekilas aku melihat sesorang yang berdiri di tengah jalan. Aku mengerjap dan berusaha fokus dengan apa yang tadi kulihat. Ya, aku melihat seorang gadis. Dengan senyuman mengembang dan tangan yang terbuka lebar seperti hendak memelukku. Itu Haneul. Kim Haneul.
Aku tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak. Ternyata Haneul belum mati. Siapapun orang yang tadi terbaring kaku, bukan Haneul. Buktinya kini ia ada di bawah menantiku menghampirinya. Aku naik ke atas beton pembatas jalan dan melihat ke bawah. Tinggi sekali. Seakan-akan aku bisa menggapai langit sekarang. Haneul masih di bawah. Menungguku. Setitik air mata keluar dari ujung mataku. “Kini aku cukup tua untuk mengejarmu. Aku akan menyusulmu, Haneul. Tunggu aku,” kataku.
Aku bisa mendengar orang-orang yang berteriak melihat aku yang berdiri di atas beton pembatas jalan. Beberapa orang berusaha membuatku turun, tapi aku tetap fokus sosok Haneul. Aku tak mau kehilangan dia lagi. Jantungku kembali berlomba-lomba untuk berdetak. Aku terlalu bersemangat. Aku menarik napas panjang dan mulai pasrah.
Kubiarkan tubuhku jatuh tertabrak gravitasi dari atas jembatan. Kurasakan angin yang menderu-deru di telingaku. Air hujan membuat wajahku perih. Tapi aku tetap tersenyum karena aku tahu aku akan bersamanya. Sedetik kemudian aku jatuh ke jalanan. Kubiarkan mobil-mobil menghancurkan ragaku. Yang jelas, kini aku bisa menggapainya. Memilikinya. Dia dengan nama indahnya. Kim Haneul.
Dan kurasa ini saatnya aku mengakhiri ceritaku.
_________________