Be The Banger

Sometimes, we want to bang the world but the world wants to bang us. Don't be afraid. Let's be the banger. Even if we're the last banger.

10.2.12

Winter in Spring

One Shot Fanfic
Genre: Romantic
Cast: G-Dragon (Kwon Ji-Yong), Wang Gyeoul (yourself), Yang Hyun Seok (cameo)



Winter in Spring

Lagi-lagi dia menyihirku. Dengan tatapan mata lembut dan senyum canggung yang terulas di bibir kecilnya. Jelas ia tahu siapa aku. Mungkin. Meskipun aku tak tahu apapun tentangnya, tapi tak masalah selama aku masih bisa memandang keindahannya. Bukan soal fisik, tapi keindahan yang memancar dari dalam dirinya. Seolah-olah ia bisa memudarkan semua warna. Seolah ia menarikku untuk terus memandangnya.

Aku berani bersumpah dia tidak cantik. Maksudku, dari semua teman-teman wanita yang satu profesi denganku, jelas ia tidak sepadan. Segalanya biasa. Rambutnya bagai misteri. Aku tak pernah tahu seberapa panjang rambutnya karena ia selalu mengikatnya. Menggulungnya sedemikian rupa tapi angin selalu menerbangkan rambutnya lagi. Ia mungil. Tubuhnya kecil dan terlihat rapuh. Suaranya selembut sutera dan sesekali aku mendengarnya menggumamkan sebuah lagu ketika ia sedang bosan. Alis matanya seperti bulan sabit. Menghiasi matanya yang kecil dan indah secara alami. Meskipun ia sangat biasa tapi ia spesial bagiku.

“Jiyong oppa,” sapa seseorang dan mengagetkanku. Aku mengerjap lalu memandangnya. “Boleh aku minta tanda tangan oppa?” tanyanya. Lalu ia menyodorkan selembar kertas padaku sambil menjerit-jerit manja. Aku tersenyum lalu menulis namaku dengan cepat di kertas tersebut. Gadis itu menjerit-jerit riang lagi tapi aku tidak begitu menggubrisnya. Aku kembali melirik gadis indah yang duduk di seberang mejaku. Ia masih tertegun membaca sebuah novel dan sesekali menyesap kopinya.

Aku heran mengapa ia belum pernah sekali pun menatapku atau menghampiriku dan meminta tanda tangan. Bahkan kali ini pun tidak. Padahal setiap kali aku menyempatkan diri untuk mengunjungi café ini, aku selalu berharap ia melakukannya.

Seminggu kemudian aku kembali ke café itu. Rencananya aku ingin mencari inspirasi di sana. Aku harus menyelesaikan sepuluh lagu dan tak ada seorang pun yang bisa membantuku. Aku membawa buku notes, headphone Beats, dan iPod di saku celanaku. Hari ini mendung. Awan besar kelabu seperti menuntunku kemanapun aku pergi. Dan moodku sangat jelek di hari seperti ini.

Seorang gadis berdiri di depan café dengan kepala tertunduk dan ia memegangi ponselnya. Rambut panjangnya terurai sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan mini-dress putih dan benar-benar menghalangi jalanku.

“Permisi,” kataku dingin. Gadis itu menoleh ke arahku. Matanya sembab dan bercucuran air mata. Butuh sekitar dua detik bagiku untuk menyadari siapa dia. Dia gadis mungil yang membuatku tersihir. “Kau,” kataku singkat. Gadis itu membungkuk cukup dalam lalu masuk ke dalam café dengan terburu-buru sambil mengusapi pipinya. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi. “Rambutnya.. terurai,” gumamku tanpa sadar.

Aku masuk ke dalam café masih dalam keadaan setengah sadar. Ya Tuhan, ia terlihat sangat menawan, bisikku dalam hati. Otakku masih berfantasi ria ketika seorang pelayan menegurku dan bertanya apa pesananku. “Coffee espresso satu. Tidak. Buatkan dua,” pesanku sambil tersenyum. Setelah beberapa saat, sebuah nampan berisi dua cangkir coffee espresso telah siap. Aku mengambil dua kantung gula dan membawa nampan itu. Langkahku terhenti. Aku hendak melangkahkan kakiku ke arah kursi yang biasa kududuki, namun sekarang entah kenapa kakiku seakan berfikir sendiri dan terus mendorongku agar aku duduk di bangku yang biasa gadis itu duduki. Dan bodohnya, aku menurut.

Aku menunggu dengan tegang sambil memaksakan telingaku untuk mendengarkan musik. Gadis itu tak kunjung datang juga. Aku membuka buku notesku dan mulai mencorat-coret isinya.

“Oh,” ujar seseorang dengan nada terkejut. Aku membuka headphone-ku lalu menoleh ke arahnya. “Maaf, aku akan cari meja lain. Maaf mengganggu,” katanya ramah sambil terus membungkuk-bungkukkan badannya.

“Aku tahu ini mejamu,” ucapku lembut. Ia terlihat terkejut sekaligus bingung. “Duduklah. Tak usah canggung begitu. Aku hanya ingin tahu novel apalagi yang akan kau baca.”

Gadis itu tersenyum lalu membungkuk kecil sekali lagi. Ia kemudian duduk di hadapanku. Aku memandang matanya yang masih sembab dan merah. “Kalau seorang gadis menangis, ia pasti berbohong dan mengatakan ia hanya kelilipan. Tapi kuyakin kau akan berdalih lain. Kenapa kau menangis? Novelnya terlalu romantiskah?”

“Ah,” ia tersipu malu lalu menjawab, “aku pembohong yang buruk.”

“Seberapa buruk?” tanyaku menggoda.

“Umm,” ia berpikir sejenak. “Cukup buruk sampai orang lain dapat membaca pikiranku sebelum aku berbohong?”

Aku tersenyum. “Aku akan mengetes seberapa buruk kau bisa berbohong.” Ia tertawa kecil. Dan aku meleleh. “Kau mengenalku?” tanyaku memancing.

“Aku sering melihatmu di café ini,” jawabnya dengan lancar. Ia tak tahu bahwa aku seorang penyanyi. Dan kurasa itu bagus.

“Kau memang tak pintar berbohong. Namamu… Haneul (Langit)?” tanyaku lagi.

Ia menggeleng.

“Umm.. Bada (Laut)?”

Ia tertawa geli lalu menggeleng.

Nabi (Kupu-kupu)?”

Lagi-lagi ia menggeleng.

Gyeoul (Musim dingin)?”

“Oh! Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya terkejut.

“Ahahahaha,” aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang lucu. “Aku juga tak tahu. Begitu melihatmu, nama-nama itu yang ada di pikiranku. Gyeoul. Pantas kau selalu dikelilingi warna putih.”

“Wang Gyeoul,” katanya memperjelas.

“Kwon Jiyong,” kataku sambil tersenyum.

“Boleh aku minum kopiku?” tanyanya.

Aku mengangguk dan memperhatikannya menikmati kopinya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain agar ia tidak menganggapku sebagai stalker atau yang sebagainya. Aku kembali memakai headphone di telingaku dan mulai berpura-pura konsentrasi. Beberapa menit berlalu tanpa ada sepatah katapun yang keluar drai mulut kami. Dan aku semakin tegang.

“Kwon Jiyong-ssi,” katanya. Aku buru-buru melepas headphoneku dan memasang wajah serius. “Kau membuat lagu?” tanyanya. Aku tak bisa menahan senyumanku kali ini.

“Ya,” kataku sambil tersenyum. “Hanya untuk iseng.”

“Wow,” katanya lagi. “Kalau lagumu sudah jadi, boleh aku dengar?”

Aku mengangguk bersemangat. “Tentu,” ia tersenyum tapi matanya masih terlihat sedih. Aku berdehem dan memberanikan diriku untuk bertanya, “sesedih apa novelnya sehingga bisa membuatmu menangis?”

Ia terkejut, lalu tersenyum canggung. Ia menutup novelnya lalu menyesap kopinya lagi. Mungkin ia sedang berfikir. Aku sedikit menyesal telah bertanya hal seperti itu. “Kisahnya cukup tragis,” katanya pelan. Aku membetulkan letak dudukku lalu mengambil novelnya. Ia menatapku lurus dan dalam. Aku berpura-pura membaca sinopsisnya. “Ada seorang wanita yang terjebak dengan keadaannya. Ia tidak miskin, juga tidak terlalu bodoh, tapi ia sulit melepaskan pria yang telah menyakitinya. Ia tak bisa merentangkan sayapnya dan terbang bebas bagaikan burung. Sayapnya patah, tapi tak ada yang mau menyembuhkannya. Yang ia inginkan hanya cinta dari pasangannya. Tapi yang ia dapatkan hanya tamparan pedas dan kata-kata kotor. Lalu setelah semuanya membaik, bahkan terlalu baik, pasangannya pergi. Entah pergi kemana. Yang jelas ia meninggalkan wanita itu dengan seluruh luka di hatinya. Sebuah luka menganga yang rasa sakitnya merongrong di dirinya. Bahkan, bila ada seorang pria lain yang berusaha menyembuhkannya, luka itu akan semakin menyakitkan. Seperti sebuah luka besar yang diberi alkohol,” ia berhenti dan terisak. Ia mengambil tissue dari dalam tasnya lalu mengelap pipinya yang basah.

Aku membiarkannya larut dalam isakan pelannya sambil benar-benar membaca sinopsis novel itu di sampul bagian belakang. Ia berbohong. Ceritanya bukan seperti itu dan ini novel Sherlock Holmes yang tentu saja bukan cerita cinta. Aku memandangnya. Ingin rasanya tanganku ini merengkuh wajahnya yang kecil dan pucat lalu menghapus air mata yang terlalu berharga untuk dikeluarkan.

“Tapi, kau tahu, Kwon Jiyong-ssi,” katanya lagi setelah selesai menghabiskan empat lembar tissue. “Wanita itu kini merasa tenang di samping seorang pria,” lanjutnya. Jantungku bagaikan di sambar petir. Jadi, apa sekarang ia sudah punya pacar lain? Tanyaku dalam hati.

“Siapa dia?” tanyaku penasaran, nyaris tanpa sadar.

“Entahlah. Orang asing yang mengambil tempatnya lalu membayarnya dengan secangkir kopi, mungkin?” jawabnya menggoda. Aku menunduk lalu tersenyum sangat lebar.

“Ngomong-ngomong, lagu yang akan kau buat bercerita tentang apa?” tanyanya.

“Entahlah. Aku belum tahu. Aku perlu mendinginkan kepalaku untuk mendapat inspirasi.” Aku melihat ke luar jendela di mana tetesan-tetesan hujan masih turun dengan deras. “Mau menemaniku mendinginkan kepala?” ajakku.

Ia mengerutkan keningnya. Aku berdiri lalu meraih tangannya. “Kwon Jiyong-ssi, kita mau kemana?” tanyanya bingung. Aku tidak menggubrisnya dan tetap menggenggam tangannya.

Aku menuntunnya ke depan café dimana banyak orang sedang berteduh. Tidak begitu banyak mobil yang melintasi jalan ini. Aku mengambil beberapa kursi dari dalam café lalu menyusunnya membentuk lingkaran yang cukup besar di tengah jalan. Dengan tubuh yang sudah terlanjur kebasahan, aku menengadahkan tanganku di depan Gyeoul – mengajaknya menari. Ia terlihat kaget dan ragu-ragu, tapi kemudian ia tersenyum dan menyambut tanganku.

“Menari di bawah hujan,” bisikku saat kami mulai berdansa pelan. “Dengan begini, aku bisa mendinginkan kepalaku dan kau bisa menangis di depanku tanpa ada orang yang tahu.”

Ia tersenyum. Senyuman bahagia, kurasa. Sang pemilik café membawa speakernya keluar dan memasang lagu Butterfly milikku. Orang-orang di sekitar kami beretepuk tangan – entah mengapa, dan banyak paparazzi yang memotret kami. Aku tidak peduli.

“Suaranya mirip suaramu, Kwon Jiyong-ssi,” katanya lembut.

“Oh ya? Mungkin itu karena hanya suaraku yang menggema di otakmu.”

Aku memutar-mutar badannya lalu kami tertawa gembira. Beberapa orang mulai masuk ke lingkaran kami dan ikut berdansa. Kini, sang pemilik café mengganti lagunya menjadi lagu lama yang cocok untuk berdisko dan ia pun ikut menari bersama kami.

Di saat semua orang terlalu sibuk dengan tariannya, aku meraih tangan Gyeoul dan menariknya ke tubuhku. Aku memeluknya dengan erat dan ia tertawa kecil. “Biarkan aku melindungimu,” bisikku pelan.

Gyeoul melepaskan pelukanku dan mengecup pipiku. Ia tersenyum lalu mengatakan, “tak perlu.”

Keesokan harinya aku kena demam. Aku harap Gyeoul tidak kena demam juga. Foto-foto paparazzi sudah menyebar di internet dan ponselku tak henti-hentinya bergetar. Aku tahu aku berada dalam masalah besar, tapi sumpah aku tidak menyesalinya. Meskipun mungkin ribuan fans-ku akan berubah menjadi anti-fans, aku tetap manusia paling bahagia di muka bumi.

Setelah aku dan Yanggoon-sajangnim membereskan masalahku, aku kembali mengunjungi café itu. Menunggu pukul empat sore seperti biasa. Menunggu Wang Gyeoul datang dengan sebuah novel di tangannya. Menunggu senyuman canggung yang terulas di bibirnya ketika ia melihatku. Menunggu saat yang tepat sampai aku mengatakan isi hatiku.

Kami seperti teman dekat sekarang. Aku mulai membaca novel-novel yang ia baca, dan ia mulai mendengarkan musik yang aku dengarkan. Kami saling mengisi dan seisi café ini seperti milik kami. Aku tak pernah bilang yang sebenarnya tentang aku dan profesiku. Biarkanlah ia menganggapku sebagai pria biasa. Mungkin ia tak pernah membaca koran atau menonton televisi yang sedang hangat-hangatnya memberitakan aku karena ia tak pernah bertanya soal hal itu. Ditambah, ia pernah bilang bahwa ia baru saja pindah ke Seoul setelah sebelumnya ia tinggal di Paris.

Bonjour, belle,” sapaku saat ia datang dengan anggun menghampiriku. Ia memakai mini dress denim putih dengan sedikit renda di bagian dada. Dia terlihat sangat cantik. Rambutnya dalam keadaan standar, digulung asal dengan sedikit rambut yang keluar di bagian sisi wajah. Ia menjepit poninya ke atas sehingga wajahnya terlihat sangat jelas. Semakin hari aku memandangnya, ia terlihat semakin cantik.

Bonjour,” balasnya. Ia duduk lalu menyesap kopinya yang sudah aku pesankan terlebih dahulu. “Bagaimana lagumu, Kwon Jiyong-ssi?” tanyanya.

“Lancar meskipun belum selesai,” jawabku. “Kenapa? Kau tak sabar untuk mendengarnya, Wang Gyeoul-ssi?” tanyaku.

Ia terkikik. “Ya,” jawabnya. Ia memandangku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dan ia telah berhasil membuat wajahku merona. “Aku takut aku takkan sempat untuk mendengarnya,” lanjutnya.

Aku mengerutkan dahiku. Aku hendak bertanya namun tak ada sedikit pun suara yang keluar. Aku terlalu takut untuk mendengar jawabannya. Aku terlalu takut ia akan bilang bahwa ia akan meninggalkanku sebelum ia tahu isi hatiku.

Ia tersenyum lalu memegang tanganku dengan lembut. “Kau.. masih mau melindungiku kan?” tanyanya misterius. Aku tak bisa melakukan apapun selain mengangguk.

“Kau sedikit aneh hari ini,” kataku. “Kenapa? Si pria dalam novel itu menyakiti wanitanya lagi?”

Gyeoul tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. “Bukan si pria itu. Ini pria yang lainnya. Pria asing dengan segelas kopi.”

“Ada apa dengan pria itu?”

“Pria itu terlalu baik dan si wanita takut menyakiti pria itu. Wanita itu takut tak bisa melepaskan pria itu. Ia terlalu takut dengan perasaannya. Ia telah mengalami pahitnya cinta dan sekarang ia tak mau mengulanginya lagi. Sayapnya dulu pernah patah dan ia tak mau mematahkan sayap pria yang sudah mengajaknya menari menikmati indahnya hujan di musim semi. Kau tahu, Kwon Jiyong-ssi, kurasa hujan lebih baik dalam mengobati luka ketimbang alkohol,” jelasnya.

Aku tersenyum. Ia pun ikut tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya dariku dan mulai meneliti café ini. “Aku baru tahu kalau café ini café terindah di Seoul,” ujarnya.

“Ya,” jawabku. “Café terindah dengan pengunjung terindah juga.”

Gyeoul tertawa. “Kata-katamu itu bertolak belakang dengan penampilanmu.”

“Kau tahu, Gyeoul-ssi, aku juga bukan pembohong yang handal. Terkadang saat melihatmu, kata-kata itu keluar dengan sendirinya,” jelasku. Ia tersipu.

Tak lama kemudian, Gyeoul menyeruput habis kopinya lalu berdiri. Ia merapikan pakaiannya lalu mengambil tas tangannya.

“Sudah mau pulang?” tanyaku.

“Ya,” jawabnya. “Maaf dan terima kasih, Kwon Jiyong-ssi,” lanjutnya.

“Untuk apa?” tanyaku.

Ia tersenyum lalu mengelus wajahku. “Segalanya.”

Entah kenapa namun aku merasa saat itu adalah terakhir kali aku melihatnya. Melihat punggungnya berjalan keluar café. Melihatnya berjalan dengan anggun menjauhiku. Melihatnya. Melihat Wang Gyeoul.

Aku berdiri dan jantungku berdebar dengan kencang. Aku berjalan mendekati Gyeoul dan memeluknya dari belakang. Ia sempat terkejut lalu ia memegangi tanganku yang merangkul lehernya. “Kembali lagi saat laguku sudah selesai,” bisikku pelan.

***

Aku terbangun. Angin musim semi yang hangat membelai wajahku. Aku melihat ke sekelilingku. Padang rumput yang luas dengan ilalang-ilalang tinggi melambai-lambaikan daunnya dengan lembut. Sekelompok kupu-kupu terbang dengan ceria. Gemerisik daun yang terkena angin terdengar merdu seperti petikan harpa. Langit sore yang indah berwarna jingga menyilaukan mataku. Matahari yang hampir terlelep benar-benar menunjukkan pesonanya.

Aku terduduk dengan kepala yang masih berat. Ini pasti mimpi, pikirku. Meskipun aku tahu ini mimpi, tapi aku tak mau meninggalkan pemandangan yang indah ini.Aku memegangi kepalaku yang terasa seperti ditindih batu bata sambil berdiri. Aku berusaha menyeimbangkan diriku lalu, setelah beberapa detik, aku bisa berdiri dengan kokoh.

Tepat di depanku, ada seorang gadis bertubuh kecil dan rapuh sedang duduk di atas batu besar yang berlumut sambil memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya. Rambutnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin. Begitu pula dengan gaun putihnya. Aku menghampirinya sambil menyibakkan ilalang-ilalang tinggi di sekitarku.

“Gyeoul-ssi?” tanyaku memastikan.

Gadis itu menoleh. “Kau sudah datang?”

“Dimana kita?” tanyaku lagi.

“Entahlah,” jawabnya tak pasti. Ia kemudian berdiri lalu memelukku. Pelukannya dingin. Sedingin es, sedingin salju. “Lagumu sudah selesai, Kwon Jiyong-ssi?”

Aku mengangguk. “Sedikit lagi.”

Ia termenung sambil memperhatikan wajahku. Aku merengkuh wajah kecilnya dan ia tersenyum hangat. Tapi, sedetik kemudian, air mata mulai menetes di pipinya. Aku mengusapnya dan ia menurunkan tanganku. Ia menggenggamnya sambil terus menangis.

“Aku tak suka melihat tangisanmu,” kataku pelan.

Ia masih menggenggam tanganku dengan tangan sedingin es. Aku meniupkan nafasku ke tangannya, berusaha menghangatkannya. Lalu beberapa saat kemudian tangannya bersinar. Seperti ada jutaan bintang kecil di sana. Aku menatap wajahnya. Seluruh tubuhnya bersinar.

“Kau seperti bintang,” ujarku. “Kau pasti bersembunyi di belakang awan selama ini.”

“Kwon Jiyong-ssi,” katanya lembut. “Berjanjilah padaku kalau kau takkan melupakanku. Berjanjilah padaku kau akan menyanyikan lagumu itu untukku.Berjanjilah kau akan selalu menyinari dunia ini seperti sinar mentari. Jangan pernah mengejarku lagi. Jangan pernah menghiburku lagi. Meskipun aku pergi meninggalkanmu, bukan berarti aku tak ada di sampingmu. Bukan berarti aku tidak mencintaimu. Hanya waktu yang tidak memperbolehkanku.”

“Gyeoul-ssi..aku..” Gyeoul kembali bersinar lagi. Kali ini sinar biru yang menyilaukan keluar dari punggungnya – membentuk sepasang sayap besar yang indah. “Jangan bilang kalau kau..” ucapku dengan suara bergetar menahan takut. Aku takut ia akan pergi, terbang melayang dengan sayapnya itu.

“Ya,” katanya. Suaranya kini terdengar samar. “Jiyong-ssi, saat kau melihat salju turun, itulah aku.” Lalu ia mulai mengepakkan sayapnya dan terbang perlahan.

“Jangan pergi tanpaku! Aku mohon bawa aku!” teriakku. “Gyeoul-ah!! Ayo kita pergi bersama-sama!”

Gyeoul tidak mendengarku. Ia telah terbang tinggi ke angkasa. Meninggalkanku dengan angin yang menderu-deru.

***

Aku terbangun dengan keringat di seluruh tubuhku dan nafas yang terengah-engah. Entah kenapa aku menangis. Jantungku berdetak dengan kencang. Aku segera bersiap dan mengambil buku notes tempat aku menulis laguku untuk Gyeoul. Gyeoul. Menyebutkan namanya saja membuat hatiku terasa seperti diiris-iris.

Aku buru-buru keluar rumah dan tak memperdulikan siapapun. Dengan perasaan khawatir yang teramat dahsyat, aku mulai berlari. Berlari menuju café di mana Gyeoul pasti menungguku.

Saat aku tiba, suara ambulans yang memekakan telinga terdengar. Aku di sambut oleh kerumunan orang yang membentuk lingkaran di tengah jalan. Aku memegangi lututku yang bergetar hebat. Ku berusaha membohongi diriku bahwa aku tak apa-apa. Aku mulai menerobos kerumunan orang itu dan melihat darah segar di mana-mana. Aku melihat gaun putih melambai-lambai yang ternodai oleh noda darah di balik selimut di atas kasur mayat yang sedang di dorong masuk ambulans. Aku menutup mulutku dan air mata mulai keluar, menetes di pipiku. Aku berusaha mengontrol nafasku dan keluar dari kerumunan.

Setitik air dingin mengenai keningku. Aku melihat ke atas dan melihat salju mulai turun. Salju? Di akhir musim semi yang hangat? Pikirku heran. Aku mengadahkan tanganku untuk menikmati sentuhan salju yang dingin dan lembut.

“Gyeoul,” kataku pelan.

Aku berusaha tersenyum dan mengabaikan apapun yang terjadi di sini. Aku, dengan wajah setenang mungkin, melenggang masuk ke dalam café dan menunggu Gyeoul. Menunggunya datang dengan novel di tangannya dan senyuman canggung di wajahnya. “Gyeoul-ssi, laguku sudah selesai. Judulnya Café.”

Setiap minggu aku menunggunya di café itu. Dengan dua cangkir coffee espresso yang tak pernah kuminum. Sayangnya Gyeoul tak pernah datang. Mungkin ia sibuk, pikirku.

***

Waktu, tolong berhenti berputar. Jangan pisahkan aku dengan dirinya.

Angin, tolong berhenti berhembus. Ini permohonan terakhirku padamu.

Gyeoul, tolong kembali. Kau harus kembali. Laguku sudah selesai, dan kau harus mendengarnya. Kau juga harus mendengar aku berkata: Aku mencintaimu.

***

No comments:

Post a Comment