Genre: Horror
hk:joshua, hc:casey, eh:spencer, rw:nathan, sw:andrew, lt:dennis
sd:mathew, dh: aiden, ys:jerome, ki:jordan, sm:vincent, kh:marcus, kb:bryan trevor
Villa at Busan, September 13th, 2010, 01.34 AM
Aiden tahu ia takkan bisa tidur malam ini. Perasaan aneh itu terus menghantuinya. Ketika ia mencoba untuk tidur, angin dingin itu membelai telapak kaki dan wajahnya. Lalu angin dingin itu berubah menjadi hangat, lalu kembali dingin lagi. Mata Aiden tetap tertutup. Ia tak mau melihat sesuatu yang tak ingin dia lihat. Keringat mulai bercucuran di keningnya. Panas, pikirnya. BRAAAK! Terdengar bunyi jendela yang terbuka dan angin berhembus menerpa wajahnya. Angin ini sama sekali bukan angin sepoi-sepoi di malam hari. Angin ini sangat kencang seperti angin badai. Aiden terpaksa membuka matanya dan melihat ke arah jendela. Masih tertutup, pikirnya. Angin kencang itu berhembus lagi; menerpa wajahnya. Padahal jendelanya tertutup, dari mana angin kencang ini berasal? Tanyanya dalam hati. Angin kencang itu berhembus beberapa kali lalu berubah menjadi angin dingin yang lembut dan membelai lehernya. Bulu kuduknya merinding. Aiden menutup mata lalu membungkus dirinya di dalam selimut.
Tidur, tidur, tidur! Teriak Aiden dalam hati. Saat ia mencoba untuk tidur dan menghiraukan angin-angin aneh yang berseliweran di sekelilingnya, ia mendengar sebuah nyanyian. “hmm..mm..mm..mm..” suara lembut itu mengumamkan sebuah lagu. Lagu Ja Jang Ga. Suara itu begitu lembut dan sangat pelan. Aiden membuka matanya perlahan. Dari balik selimutnya ia bisa melihat sebuah bayangan di depan pintu kamarnya. Ia tak berani melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu dan seakan-akan mengawasinya itu.
Nyanyian itu terus berlanjut. Semakin keras dan jelas. Jantung Aiden berdegup dengan kencang ketika ia melihat samar-samar, bayangan seseorang itu kini tepat di sebelahnya. Aroma bunga-bungaan tercium olehnya. Aiden membalikan tubuhnya dan membelakangi bayangan itu. Ia bisa melihat Mathew yang tertidur pulas di ranjang sebelahnya. Ia bisa merasakan sesuatu duduk di sebelahnya. Angin semilir seakan-akan mengelus-elus rambutnya. Aiden bisa merasakan belaian angin itu di kepalanya. Seberapa kuatnya pun ia berdoa, sesuatu itu tetap membelainya, menyanyikannya sebuah lagu, dan duduk disampingnya.
Beberapa saat kemudian, suara nyanyian itu hilang. Begitu juga dengan angin-angin aneh. Aiden menghela napas lega. Ia melihat jam. 02.23 AM. Ia berbaring terlentang dan membiarkan wajahnya terkena udara malam yang normal. Akhirnya ia tertidur juga.
______________
Villa at Busan, September 14th, 2010, 08.13 AM
“Bagaimana tidur kalian?” Tanya Dennis saat ia duduk di meja makan. Marcus dan Vincent sudah menyiapkan sarapan untuk semua member. Menu sarapannya seperti biasa, ramyeon. “Aiden, sepertinya kau begadang ya? Wajahmu terlihat lesu,” Tanya Dennis pada Aiden sambil meminum segelas air.
“Ah, aniyeyo hyung. Tidurku nyenyak tadi malam,” kata Aiden berbohong. Ia tak mau member-member yang lain ketakutan karena pengalamannya semalam.
“Aish! Sepertinya tadi malam si Jerome menyelinap ke kamarku,” kata Casey.
“Memang kenapa?” Tanya Vincent.
“Biasa. Ia menyelinap, mengelus-elus rambut juga bibirku seperti kelakuannya yang biasa. Tapi kali ini lebih parah! Ia menggumamkan sebuah lagu dan menggunakan falsetto sehingga kedengarannya mirip suara wanita. Anak itu tidak waras.”
Aiden membatu. Itu bukan Jerome, pikirnya. Ia berusaha mengatur nafas dan terlihat tenang. “Kau lihat wajahnya, hyung?” tanyanya. Ia menahan suaranya agar tidak ketahuan ia gugup.
“Tidak. Aku pura-pura tidur. Lagipula, kalau bukan Jerome, siapa yang berani melakukan hal seperti itu? Masa hantu,” katanya sambil tertawa-tawa. Vincent, Marcus dan Dennis pun ikut tertawa.
Spencer duduk di meja makan dengan rambut basah dan menggigil. Kelihatan jelas ia baru mandi. “Kamar mandi kosong. Ada yang mau mandi lagi tidak? Tapi pemanas airnya rusak, ” tanyanya dengan suara bergetar karena kedinginan.
“Nanti kusuruh ajussi itu untuk membetulkannya,” kata Dennis dengan tenang.
“Ya! Mana si Jerome?” Tanya Casey dengan kasar. “Aku harus buat perhitungan dengannya!”
“Kemarin malam ia pulang ke Seoul. Ibunya sakit,” jawab Spencer.
“Kemarin malam? Kapan tepatnya?”
“Sekitar jam sebelas malam. Kenapa memangnya hyung?”
Casey, Aiden, Dennis, Vincent, dan Marcus membatu. Mereka saling tatap. Pandangan Aiden yang paling kosong. Ternyata memang bukan Jerome, pikirnya. Ia menelan ludah. Casey pun merasa tegang dan kaget seperti Aiden.
“Aniya. Yap, mungkin saja ia balik lagi dari Seoul hanya untuk mengelusku,” kata Casey dengan santai sambil menyesap kopinya.
_______________
Villa at Busan, September 14th, 2010, 02.54 PM
Andrew sedang berjalan-jalan di dalam villa. Ia merasa terlalu kenyang untuk makan siang bersama member yang lain. Ia sangat mengagumi segala sesuatu yang ada di villa ini. Arsitektur, dekorasi, segalanya. Ia mengamati setiap detail dinding villa itu. Rumah besar bergaya Eropa, selalu punya detail yang indah. Andrew seakan-akan hilang kesadaran dan mengikuti kemanapun kakinya melangkah.
Ia menghentikan langkahnya ketika ia berdiri di depan sebuah lukisan. Lukisan yang indah, pikirnya. Ia mengamati wajah seorang gadis di lukisan itu. Cantik, pikirnya lagi sambil tersenyum simpul. Gadis yang terlukis disitu bukan orang Korea, ia orang Eropa. Rambutnya pirang ikal panjang dengan kulit pucat dan mata biru. Andrew melihat mata gadis itu lebih dalam. Ia seakan tersedot ke dalamnya. Ia mengerjapkan matanya lalu tersadar. Di mana ini? Tanyanya.
“Bulleo..julge..i norae..gieokhalsuinni..”
Andrew mendengar sebuah nyanyian dan mencium wangi bunga-bungaan. Ia mengerjap dan melihat ke sekeliling. “Nuguseyo?” tanyanya.
Lampu mati. Andrew berpegangan pada dinding. Ia masih bisa mendengar nyanyian itu. Sangat pelan dan terdengar menyedihkan. Ja Jang Ga? Pikirnya. Lagu nina bobo itu sering dinyanyikan oleh ibunya sewaktu ia kecil. “YA! NUGUYAAA!” teriak Andrew.
Ia mulai berlari. Ia mencoba keluar dari ruangan aneh yang gelap ini. Nyanyian itu semakin keras dan parau. Diselingi isak tangis seorang gadis. Andrew berlari semakin kencang. Ruangan itu seperti tak berujung. Nyanyian itu seakan-akan mengejarnya. Anehnya, setiap ia melambatkan langkahnya, nyanyian itu semakin pelan, jika ia mempercepat langkahnya, nyanyian itu semakin keras dan parau. Andrew tak menghiraukan nyanyian aneh yang menggema di ruangan itu dan terus berlari. BRUK! Ia menabrak sesuatu. Lampu kembali menyala, dan nyanyian itu pun usai. Andrew terjatuh cukup keras sampai ia terlentang di lantai. Ia menyingkirkan sesuatu yang menimpa tubuhnya. Lukisan yang tadi, pikirnya. Ia melihat ke sekeliling dan mendapati dirinya terlentang di lantai ruang tengah. Ia mengatur nafas karena kelelahan lalu melihat lukisan itu.
“Ya Tuhan!” katanya kaget. Lukisan itu terlihat berbeda. Orangnya tetap sama, tetapi lukisan ini tidak tersenyum. Air mata mengalir di pipinya. Wajahnya tampak sedih.
“Kau kesepian ya?” Tanya Andrew dengan lirih pada lukisan itu. “Kau orang Eropa tapi jago menyanyikan Ja Jang Ga,” Andrew tertawa kecil lalu melanjutkan, “jangan ganggu kami ya.”
“Ya! Sedang apa terlentang di situ?” Tanya Mathew sambil tertawa.
Andrew tersenyum kecil lalu berdiri. Ia mencari-cari lukisan itu. Tidak ada.
“Aku ketiduran. Mungkin.”
____________
Villa at Busan, September 14th, 2010, 07.45 PM
Vincent masuk terburu-buru. Nafasnya terenga-engah, dadanya naik turun, dan pandangannya tidak fokus.
“Kau kenapa?” Tanya Dennis.
“Kuburan.. hyung.. banyak..” jawab Vincent terbata-bata.
“Apa? Ayo tenang dulu dan beri tahu aku semuanya.”
Dennis memapah Vincent ke ruang tengah. Ia membawa secangkir teh panas dan duduk disebelah Vincent. Vincent masih tampak tegang.
“Kuburan kau bilang?” Tanya Dennis tenang.
“O.. Hyung. Banyak. Bukan hanya satu, tapi BANYAK!”
“Arasseo, arasseo! Kau tenang dulu. Di mana kau menemukannya?”
“Di halaman belakang. Aku sedang bermain-main lalu aku tersesat. Seolah-olah ada di dunia lain. Lalu aku lihat kuburan-kuburan itu. Di belakang rumah Ajussi yang seram. Hyung, apakah Ajussi itu pembunuh?”
“Aish, mana mungkin. Kau terlalu banyak nonton film. Kau lihat batu nisannya?” Vincent mengangguk. “Nama siapa yang terukir disitu?”
“Nama-namanya aneh. Tapi ada beberapa nama Hanguk saram dan nisannya tampak baru; tidak berlumut seperti yang lain. Namanya..umm.. Kim.. Kim Sae…Joon.. ani.. Kim Joon Sae. Dan Han.. Wang..Bi. Iya. Kim Joon Sae dan Han Wang Bi,” Vincent melanjutkan, “di nisan itu tertulis tanggal meninggal mereka. Sekitar sebulan yang lalu.”
To Be Continued.....
No comments:
Post a Comment