Be The Banger

Sometimes, we want to bang the world but the world wants to bang us. Don't be afraid. Let's be the banger. Even if we're the last banger.

12.11.10

An Old Abandoned House [Fanfic]

One Shot Fanfic
Genre: Romantic, Horror
Cast: Sandara Park, Nichkhun, G-Dragon (Ji-Yong)


Hidupku tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku hidup dengan normal di lingkungan yang ramah. Memang sekolahku sedikit menyebalkan. Tetapi aku menikmati tinggal di perumahan ini. Setiap hari ada tukang susu yang menaruh susunya di depan pintu, lalu ada tukang pos yang jarang sekali ke rumahku karena jarang yang mengirimi kami surat. Khususnya aku. Surat yang datang untukku mungkin hanya surat dari sekolahku tentang nilai-nilaiku yang sempurna. Keluargaku menganggap aku sangat keren dengan nilai-nilai itu, tetapi di sekolahku, aku dianggap anak aneh kutu buku.

Aku seorang asia yang tinggal di Amerika. Dan jangan harap aku dapat bersosialisasi dengan baik di sini.

Minggu ini berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. Hanya dengan sebuah paket, hidupku berubah 360º.

Hari ini aku bangun lebih cepat dari sebelumnya. Insomnia-ku semakin parah. Setiap hari aku tidur jam 01.00 dan bangun jam 06.00. Tapi, hari ini aku bangun jam 05.00. Aku melihat ke jam weaker-ku dan berharap bisa tidur kembali karena sekolah baru buka jam 08.30. Aku menggosok gigiku lalu membangunkan Dingo, anjingku, yang masih terlelap. Aku segera berpakaian dan mengajak Dingo sedikit berolahraga di pagi hari.

“Ayo, Dingo! Jangan tidur terus!” kataku pada Dingo sedikit tegas. Lalu Dingo mengikutiku berlari di tengah pagi buta.

Taman masih sepi. Hanya ada beberapa manula yang sedang mencegah osteoporosis menyergapi mereka. Aku mengambil ranting dan melemparkannya.

“Ayo, Dingo! Tangkap!” kataku. Setelah ranting itu terlepas dari tanganku, Dingo dengan segera berlari mengejar ranting itu dan membawanya kembali padaku.

Tidak terasa sudah jam 07.00. Di taman sudah banyak orang dengan masing-masing kegiatan. Sekelompok anak lelaki memandangiku terus menerus. Dingo menyalak ke arah mereka.

“Kita pulang, Dingo,” kataku. Dingo tidak menggubrisku dan malah berlari ke arah sekelompok anak lelaki itu. “Dingo!” teriakku. Jumlah mereka tujuh orang, berbadan besar dan menyeramkan. Aku sedikit takut untuk mengambil Dingo. Para anak lelaki itu menjahili Dingo dengan cara menendanginya. Aku tak tahan melihatnya dan menghampiri mereka.

“Itu anjingku,” kataku. Mereka tertawa terbahak-bahak lalu mencopot ikatan rambutku. “Hei, kembalikan!” kataku sambil berusaha mengambil ikatan rambut kesayanganku.

“Kau kelihatan lebih manis dengan rambut terurai, cantik. Matamu terlihat lebih besar.” kata salah seorang anak. Ia menyentuh daguku dan aku mundur beberapa langkah. Dingo menghampiriku dan menyalak pada mereka.

Tak lama kemudian, pohon besar di dekat kami mulai bergoyang-goyang dan sedikit oleng. Daun-daunnya begemerisik dan berjatuhan seperti hujan. Para anak lelaki itu tak menyadarinya. Dingo terus menyalak-nyalak khawatir. Aku mundur beberapa langkah lagi dan mulai berteriak.

“Awas, pohon itu mau tumbang!” teriakku memperingatkan mereka.

Aku berjongkok dan menutup telingaku, begitu juga dengan Dingo disebelahku. Aku mendengar bunyi teriakkan dan rintihan dari arah tumbangnya pohon tadi. Aku bangkit dan berbalik. Aku menutup mulutku agar aku tidak berteriak. Semua anak lelaki itu tertimpa pohon yang tumbang. Darah merah segar mengalir deras dari tubuh mereka. Mata mereka terbuka dan raut wajah mereka seperti terkejut. Aku mendekat dan beberapa orang polisi yang berpatroli di sekitar taman mencegahku untuk mendekati mayat-mayat itu.

“Pohon itu belum terlalu tua. Belum seharusnya tumbang. Kasihan anak-anak itu,” sahut salah seorang polisi. Ia melirik ke arahku lalu menepuk pundakku. “Jangan melamun, Nak! Jadi, bisa kau ceritakan padaku kejadiannya?” tanyanya padaku. Aku dengan semangat menceritakan kejadian tadi. Polisi itu berterima kasih padaku dan bilang bahwa itu hanya kecelakaan.

Aku kembali melihat mayat-mayat itu. Salah satu mayat menggenggam ikat rambut kesayanganku. Karena ia mencurinya, maka, ia harus membayar perbuatannya dengan nyawanya. Sungguh tragis.

***

Aku pulang dengan segala keterkejutanku. Aku benar-benar tak percaya dengan kejadian di taman tadi. Baru kali ini kulihat peristiwa seperti itu. Dan ketika kulihat di meja makan, acara berita sedang membicarakan tentang hal itu.

“Oh, Sandara! Kau tak apa-apa ‘kan?” tanya ibuku dengan nada khawatir. Aku mengangguk dan ia mencium keningku. Aku duduk di salah satu kursi dan mulai membuat roti selaiku. Dingo langsung pergi kamarku lagi untuk meneruskan tidurnya.

“Wah, So-Won, kau terkenal!” kata kakak laki-lakiku, Ji-Yong. Ia suka memanggilku dengan nama Korea-ku. Dan aku tak suka itu. Aku mencibir ke arahnya dan mulai memakan rotiku. Tak dapat kubayangkan saat di sekolah nanti. Aku akan jadi bahan lelucon atas hal mengerikan ini.

“Bagaimana hal itu dapat terjadi?” tanya ayahku penasaran.

“Entahlah, pohonnya tiba-tiba tumbang,” jawabku enteng. “Mungkin itu balasan dari Tuhan karena mereka telah mencuri ikat rambutku dan menjahili Dingo,” lanjutku.

Ada sedikit hal yang ganjal saat aku melihat pohon yang tumbang itu di TV. Ada sesuatu yang aneh dengan kejadian itu. Mengapa pohon itu tiba-tiba tumbang padahal usiannya belum tua? Apa mungkin ada seseorang yang dengan sengaja menumbangkannya? Tapi, bagaimana caranya? Tanyaku dalam hati.

“Sandara, ada paket untukmu. Aku taruh di kamarmu tadi,” kata ibuku.

“Ya. Terima kasih. Aku akan membukanya pulang sekolah,” kataku.

Aku menyelesaikan sarapanku dan langsung bersiap untuk menghadapi sekolahku yang menyebalkan. Sudah pasti anak-anak di sekolah heboh melihatku ada di taman pagi itu. Apalagi Katie. Anak itu selalu membuatku kesal. Ia selalu mengomentari apa yang kupakai atau nilai-nilaiku yang selalu bagus bahkan ia selalu mempersoalkan tentangku yang tak pernah punya pacar. Apalagi jika ia melihat berita itu. Sudah pasti aku akan jadi santapannya yang lezat.

***

Dugaanku tepat. Katie dan teman-temannya menyambutku dengan microphone dan mereka berakting seolah-olah mereka adalah wartawan.

“Apa alibimu atas hal ini, Sandara Park?” tanya Katie berakting. Aku tidak menggubrisnya dan segera duduk di bangkuku dan berharap bel pulang cepat berdentang dan aku dapat segera pulang.

Ketika aku pulang, tidak ada seorang pun di rumah. Hanya ada Dingo yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Aku minum beberapa gelas air dan memanggilnya. Dingo menghampiriku dan memberiku jilatan manis di pipi. Aku menyuruhnya mengikutiku ke kamarku.

Sebuah paket yang cukup besar ditaruh di atas kasurku. Aku sempat lupa dengan paket itu. Aku cukup senang menerima paket itu karena aku tak pernah dapat paket sebelumnya. Aku dengan semangat meneliti paket berwarna coklat itu. “Nichkhun Buck Horvejkul, Seoul, South Korea”. Tulisan itu terpampang di bagian depan paket. Aku menaikkan alisku. Seingatku, aku tak pernah punya teman atau kerabat yang bernama Nichkhun di Korea atau di manapun. Dan namanya cukup aneh untuk nama orang Korea. Aku membuka paket itu dan menemukan beberapa benda di sana. Kaset video, surat, dan foto.

Aku sangat terkejut melihat foto-foto itu. Itu semua fotoku. Fotoku yang sedang mengajak jalan-jalan Dingo, sedang belajar, sedang menonton TV, sedang membuang sampah, dan lain-lain. Aku melongo tak percaya. Terlebih, semua foto itu diambil dengan kamera Polaroid. Siapa Nichkhun ini? Tanyaku dalam hati. Aku masih terpana melihat foto-foto itu. Aku sama sekali tidak sadar bahwa ada orang yang memata-mataiku selama ini. Tetapi, melihat dimana ia tinggal dengan tempatku rasanya tak mungkin ia setiap hari naik pesawat terbang hanya untuk memotretku.

Dingo menyalak dan ia menggigit kaset video dari paket itu. Aku menyimpan foto-foto diriku dan mulai menonton video yang digigit Dingo.

Pada awalnya gambar terlihat bergoyang-goyang. Lalu berubah stabil dan menampilkan wajah seseorang yang kuakui sangat sangat sangat tampan. Sepertinya ia seumurku. Ia sedang membetulkan letak kameranya sehingga wajahnya belum terlihat jelas.

“Hai, aku Nichkhun. Kau Park So-Won atau Sandara Park bukan? Salam kenal,” katanya. Ia tersenyum dan membuat wajahnya sejuta kali lebih tampan. Aku berjingkrak-jingkrak di kasurku. Aku senang si Nichkhun ini memata-mataiku. Itu tandanya ia tertarik padaku bukan?

“Maaf kalau aku membuatmu terkejut atau kebingungan. Aku hanya kesepian dan aku membutuhkan seseorang untuk mendengarkanku karena orang-orang di daerahku tak pernah mendengarkanku,” ia tertawa kecil lalu menunduk malu. Aku menggigit bibirku dan memeluk bantalku dengan erat. Dari mana ia tahu namaku? Tanyaku dalam hati.

“Mungkin kau bertanya-tanya dari mana aku tahu namamu, alamatmu, dan kapan aku memotretmu ‘kan?” ia tertawa kecil lagi dan aku sangat terkejut ia bisa tahu pikiranku. Ia melanjutkan, “aku bisa dibilang penggemar rahasiamu. Aku sering ke rumahmu untuk melihatmu tertawa dan memotretmu. Aku dapat informasi tentangmu dari beberapa sumber. Aku benar-benar minta maaf karena mengganggu hidupmu. Aku sangat menyukaimu. Kau berbeda dari gadis lainnya. Ada sesuatu dalam diriku yang menyuruhku melindungimu. Aku tahu itu aneh tapi, sekali lagi aku kesepian. Aku butuh seseorang sepertimu untuk melengkapi hidupku. Kau tahu, aku pernah melihatmu dengan anjingmu, Dingo, di taman beberapa minggu yang lalu. Aku melukismu. Sebenarnya, agak memalukan aku memberikan lukisannya padamu berbarengan dengan paket yang kukirim ini. Tapi, aku harap kau menyukainya. Baiklah. Sudah cukup kurasa. Dah.” Lalu ia tertawa malu lagi. Harus kukatakan, bahasa inggrisnya sangat sempurna.

Aku terpaku. Ia menyukaiku. Nichkhun Buck Horvejkul yang sangat tampan itu menyukaiku. Aku berteriak kegirangan dan melompat-lompat di kasurku. Aku dengan tidak sabar membuka amplop-amlop surat yang ia kirimkan. Amplop pertama berisi lukisanku di selembar kertas. Ia melukisku dengan sempurna. Ia melukisku ketika angin menerbangkan rambutku. Ia sangat romantis. Lalu di bagian bawah lukisan itu tertulis ‘Sandara Park & Dingo. 12th December 2008’. Aku memeluk lukisan itu dan menempelkannya di dinding kamarku.

Satu setengah jam aku membaca isi surat-suratnya. Kebanyakan berisi pengalamannya, lagu, dan puisi. Sisanya hal-hal tentang aku. Aku membaca puisi-puisinya berkali-kali. Isinya sangat indah. Ia benar-benar memujiku. Aku tersenyum tanpa henti ketika membaca salah satu puisinya tentangku yang berjudul “A Girl Standing Next To Me”. Aku menyukainya. Memang aku tak pernah bertemu dengannya secara langsung tetapi aku menyukainya. Ia tampan, romantis, dan baik. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya secara langsung.

***

Keesokan harinya, aku membalas surat-suratnya dan mengeposkannya. Aku berharap ia membalasnya lagi. Aku menanyakan beberapa hal di surat balasanku. Aku bertanya umurnya dan mengapa ia mengirimkan video itu padaku. Mengapa ia tak mengirimkan fotonya saja. Dan aku menanyakan soal namanya yang aneh juga. Setelah pulang sekolah aku segera ke kamarku dan menyetel videonya lagi. Dan tetap saja, ketika aku melihatnya tersenyum, aku bagaikan terbang melayang.

Seminggu kemudian, ada paket lagi untukku. “Nichkhun Buck Horvejkul, Seoul, South Korea”. Seperti biasa, tulisan itu terpampang di depan paket.

“Dara, kau punya pacar, ya?” tanya ibuku ketika ia menyerahkan paketku. Aku tersenyum malu dan buru-buru ke kamarku untuk melihat video Nichkhun lagi.

Ternyata benar. Ia mengirimiku video lagi dan beberapa amplop surat juga foto-fotoku. Aku tidak tertarik dengan surat dan foto lagi. Aku langsung memburu video itu dan menyetelnya.

“Hai,” sapanya dengan senyuman yang hangat. Aku ikut tersenyum dan menyapanya kembali. “Terima kasih kau telah membalas surat-suratku. Sedikit kecewa kau tidak mengirimiku video seperti yang kukirim padamu. Tapi aku tetap senang kau membalas suratku. Oke, aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Umurku 18 tahun. Lebih tua 2 tahun darimu. Aku tinggal di Seoul. Aku lahir di Thailand, karena itulah namaku aneh. Aku mengirimu video ini karena aku ingin bicara denganmu langsung. Lagipula, menulis surat itu capek. Jadi, aku gunakan handy cam supaya lebih praktis. Kemarin aku memotretmu lagi. Kau kelihatan sangat cantik dengan baju hangat itu,” lanjutnya. Ia lalu tertawa malu lagi seperti biasanya. Aku mem-pause videonya untuk menikmati wajahnya yang sedang tertawa manis. Lalu aku mem-play lagi videonya.

“Memalukan sekali, Nichkhun,” katanya sambil menutupi wajahnya sendiri. Aku tersipu malu melihatnya, entah kenapa. “Kau tahu, setiap malam aku bermimpi tentangmu. Aku tak bisa tidur beberapa hari ini karena wajahmu selalu memenuhi isi kepalaku. Aku sangat ingin bertemu denganmu secara langsung. Membicarakan isi hatiku secara langsung padamu.” Ia tersipu malu dan tertawa lagi. “Oh, aku sangat malu. Oke, sebenarnya, aku ingin menggenggam tanganmu dan mengajakmu kencan. Tapi kau dan aku terpisahkan jarak. Oh, ya. Kau bertanya bagaimana aku bisa sering memotretmu ‘kan? Aku bisa lakukan itu karena aku hobi melakukannya. Aku tak peduli berapa jauh jarak yang harus kutempuh agar aku dapat mengabadikan gambarmu. Karena setelah aku memotretmu, aku jauh lebih hidup daripada sebelumnya. Percaya padaku. Oke, cukup untuk saat ini.” Ia menyilangkan tangannya di dadanya dan berkata, “peluk dan cium untuk orang yang kucintai, Sandara. Dah.” Setelah itu, aku melayang.

Aku tersenyum dan memeluk bantalku. “Peluk dan cium untukmu juga, Nichkhun,” kataku pelan. Aku tak mau Ji-Yong mendengarnya lalu melihat video yang dikirimkan Nichkhun. Kalau hal itu sampai terjadi, aku akan mati karena malu.

***

Setiap minggu Nichkhun mengirimiku videonya. Aku mengumpulkan video-videonya dan menyimpannya rapi di laci belajarku. Di paketnya minggu lalu ia mengirimiku fotonya. Aku sangat senang dan memeluk foto itu berkali-kali. Setiap malam aku memandangi fotonya dan berharap aku dapat bertemu dengannya. Dan ketika aku mau tidur, aku mencium fotonya lalu menyimpannya di dompetku dan aku dapat tidur yang pulas.

***

“Kita akan mengunjungi bibi Min-Sook di Seoul. Sekarang kalian siapkan koper kalian karena besok pagi kita akan segera berangkat,” kata ayahku setelah menerima telepon dari bibi Min-Sook. Aku tertawa bahagia dan melompat-lompat kegirangan. Seoul. Berarti aku dapat menemui Nichkhun. Aku langsung pergi ke kamarku dan mengemasi barang-barangku. Aku mengambil foto Arthur di dompetku dan menuliskan alamat rumahnya di bagian belakang foto itu. Tak dapat kubayangkan aku akan melihat wajah Arthur secara langsung.

“Terima kasih, bibi Min-Sook!” kataku kegirangan.

Selama perjalanan, jantungku tak mau berhenti berdetak kencang. Aku sangat gugup. Bagaimana kalau ia ternyata hanya pura-pura menyukaiku padahal sebenarnya ia hanya ingin menjahiliku? Aku buru-buru menepis pikiran itu dan berfikir positif. Tentu saja ia sangat mencintaiku. Untuk apa ia jauh-jauh ke Seattle dan memotretku hanya untuk jahil. Fikirku.

Kemudian aku sampai di Seoul. Bibi Min-Sook membeli rumah baru di Seoul jadi ia mengundang kami untuk mampir dan melihat-lihat rumah barunya. Dingo sangat menyukai rumah Bibi Min-Sook karena ada anjing betina di sana. Ia tak henti-hentinya menggoda anjing betina itu dengan gonggongannya. Aku tersenyum melihatnya dan mulai berfikir tentang Nichkhun. Aku ingin cepat-cepat keluar dari rumah ini dan pergi ke rumahnya.

Keesokan harinya saat siang mulai datang, aku memakan makan siangku dengan buru-buru lalu mengajak Dingo untuk pergi ke rumah Nichkhun. Aku meminjam mobil Bibi Min-Sook dan langsung pergi mencari alamat Nichkhun.

Perjalanan yang kutempuh cukup jauh. Aku mengencangkan ikatan Dingo dan langsung keluar dari mobil. Nomor rumah di samping mobilku adalah 165 sementara rumah Nichkhun bernomor 166. Tetapi, di sebelah rumah itu tak ada rumah lain. Aku sedikit bingung lalu aku bertanya pada seorang tukang bangunan di rumah bernomor 165 itu.

“Permisi. Rumah bernomor 166 di sebelah mana?” tanyaku.

Ia melihat ke arahku dengan kebingungan. Ia menelan donatnya dan menjawab, “Kau lurus saja dari sini lalu belok kanan dan lurus lagi. Memangnya ada urusan apa? Tugas sekolah?”

“Tidak. Hanya berkunjung. Terima kasih,” kataku. Ia melihatku dan tersenyum sinis. Ia sepertinya merasa aneh dengan pertanyaanku.

Aku naik ke mobil lalu meneruskan perjalananku ke arah yang pria tadi katakan. Aku sedikit kaget melihat palang polisi setelah aku belok kanan. Aku turun dari mobilku dan menuntun Dingo. Aku membungkuk untuk melewati palang itu. Tidak ada banyak rumah di sini. Hanya ada pepohonan besar dan beberapa rumah yang ditinggalkan.

Aku terus berjalan dan akhirnya kutemukan rumah bernomor 166. Aku melongo ketika melihat rumah itu. Rumah itu besar sekali dan sepertinya tidak terurus. Aku gemetaran ketika melihat beberapa bagian rumah itu yang terlihat seperti bekas kebakaran. Lumut di mana-mana dan atap rumah itu berlubang. Tak mungkin ada yang tinggal di sini, fikirku. Aku sedikit lebih maju ke arah pagar. Pagarnya berkarat dan di pekarangannya, tikus-tikus berkeliaran ke mana-mana. Rumah itu rumah tua yang ditinggalkan. Kurasakan bulu kudukku merinding. Mana mungkin Nichkhun tinggal di sini dengan bekas-bekas kebakaran di sana. Aku melihat ke arah kotak surat. Di sana tertulis ‘Horvejkul’ dan marga Nichkhun adalah Hoevejkul. Berarti benar ini adalah rumahnya. Aku menutup mulutku dan menggelengkan kepalaku.

Di tengah kebingunganku, koran-koran berterbangan di angkasa tertiup angin musim dingin. Aku mengambil salah satu lembaran koran yang terbang di dekatku. Koran itu terbit sepuluh hari setelah aku pindah ke Seattle. Di lembaran koran itu tertulis: “Rumah Keluarga Pengusaha Kaya Dari Thailand, Horvejkul Terbakar! Seluruh Anggota Keluarga Tewas Termasuk Pewaris Tunggal Kekayaan Horvejkul Coorp. Nichkhun Buch Horvejkul”. Aku menejerit dan menangis sekencang-kencangnya. Ternyata Nichkhun yang sangat kucintai telah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kebakaran yang terjadi di rumah itu. Aku terduduk di aspal yang bersalju. Sekujur tubuhku lemas. Aku masih menangis. Jadi siapa yang melukisku dan memotretku jika ternyata Nichkhun sudah meninggal? Arwahnya? Aku memeluk Dingo dan meremas lembaran koran itu. Hatiku terlalu sakit untuk membaca seluruh berita itu.

“Jadi arwah Nichkhun yang mengirimiku surat, Dingo?” tanyaku pada Dingo yang sedang menjilati air mata di wajahku.

Gagang kotak surat ‘Horvejkul’ bergerak seakan ada seseorang yang sedang memasukkan surat. Aku penasaran dan memeriksanya. Aku membuka kotak surat itu dan menemukan sebuah kertas yang dilipat disana. Aku meraihnya dan membacanya.

“Terima kasih telah mengunjungiku, Sandara. Meskipun kau tak bisa melihatku, aku akan selalu disisimu untuk menjagamu. Maaf jika kenyataan mengejutkanmu. Jangan takut padaku. Aku tak akan mengganggumu. Aku hanya ingin menjaga orang yang kucintai ketika aku hidup. Aku tak sempat berkenalan bahkan aku tak sempat menyapamu saat aku hidup. Api terlalu marah padaku. Peluk dan cium dariku untukmu, Sandara. Nickhun. P.S. Yang menumbangkan pohon waktu itu adalah aku. Aku tak tahan melihatmu dipermainkan. Kapanpun kau butuh bantuanku, aku akan datang dan membantumu. Selamat Tinggal, Sandara Park. Sekali lagi, aku sangat sangat mencintaimu.” Itu adalah isi suratnya. Aku tersenyum tanpa ada sedikit pun rasa takut. Nichkhun benar-benar orang baik. Ia sangat perhatian padaku.

Aku melipat kembali surat itu dan memasukannya ke saku celanaku. Di leher dan perutku kurasakan ada sesuatu yang hangat. Aku tersenyum lalu menyentuh leherku. Aku tahu Nichkhun sedang memelukku saat ini. Dan aku tahu ini adalah perpisahan. Mana mungkin aku terus menerus mengganggunya untuk mengirimiku surat setiap minggu lagi. Lalu kurasakan hangat dipipiku. Aku tahu kalau Nichkhun sedang mengelus pipiku. Aku tertawa.

“Ayo, Dingo! Kita kembali ke rumah bibi Min-Sook,” ajakku pada Dingo. Dingo menyalak dan mengikutiku ke mobil. Aku melihat ke arah rumah Nichkhun sekali lagi dan melambaikan tangan. Aku tahu Nichkhun akan membalas lambaian tanganku.

Ketika aku melewati tukang bangunan itu lagi, ia menyapaku, “Hai, Nak. Sudah kau temukan rumahnya?” tanyanya dengan nada menyindir.

“Ya, terima kasih,” jawabku.

“Siapa yang kau kunjungi? Arwah?” tanyanya lagi dilanjuti dengan tawa yang keras.

Aku tersenyum dan menjawab, “Ya.”

***

Video-video Nickhun masih kusimpan dalam laciku. Setiap hari video itu kuputar untuk melihat wajah Nichkhun. Aku rindu padanya. Setiap aku memutar video itu, tangis selalu menemaniku. Ji-Yong sudah kuberi tahu semuanya dan ketika aku menceritakan saat aku berkunjung ke rumah Nichkhun, dia bilang, “Itu sangat keren, So-Won!” Lalu kami tertawa bersama. Ternyata Ji-Yong sangat mengerti tentang aku. Ia tidak terlalu jahat sebagai kakak. Ia juga bilang kalau Nichkhun tampan. Suatu hari nanti, jika aku punya anak, aku akan berikan nama Nichkhun. Agar ia menjadi anak yang tampan dan baik seperti Nichkhun Buck Horvejkul.

Video-video Nichkhun kugantikan dengan berkunjung ke makamnya setiap minggu. Di sana ada fotonya dengan senyum yang sangat hangat. Aku selalu merasa tenang saat aku ada di sana. Biasanya aku menceritakan perasaanku dan pengalamanku. Meskipun ia di dunia yang berbeda dengan duniaku, tapi aku masih merasakan ia bernafas untukku.

Nichkhun memang sudah tak pernah lagi mengirimiku surat, video, atau foto-fotoku lagi. Tetapi, ia selalu hadir saat aku dalam bahaya. Suatu hari ia mendorong Katie hingga terjatuh ke tong sampah saat Katie mengolokku karena nilaiku selalu bagus. Aku punya pengawal yang tak terlihat. Tak ada lagi yang bisa menggangguku. Terima kasih, Nickhun Buck Horvejkul. Peluk dan cium dariku untukmu.

-Sandara Park-

***

note: This fan-fiction/story is mine. I do not own the characters' name. don't take out without permission. Thank you.

10.11.10

The Howling House [Part 2]

Genre: Horror

hk:joshua, hc:casey, eh:spencer, rw:nathan, sw:andrew, lt:dennis

sd:mathew, dh: aiden, ys:jerome, ki:jordan, sm:vincent, kh:marcus, kb:bryan trevor


Villa at Busan, September 13th, 2010, 01.34 AM

Aiden tahu ia takkan bisa tidur malam ini. Perasaan aneh itu terus menghantuinya. Ketika ia mencoba untuk tidur, angin dingin itu membelai telapak kaki dan wajahnya. Lalu angin dingin itu berubah menjadi hangat, lalu kembali dingin lagi. Mata Aiden tetap tertutup. Ia tak mau melihat sesuatu yang tak ingin dia lihat. Keringat mulai bercucuran di keningnya. Panas, pikirnya. BRAAAK! Terdengar bunyi jendela yang terbuka dan angin berhembus menerpa wajahnya. Angin ini sama sekali bukan angin sepoi-sepoi di malam hari. Angin ini sangat kencang seperti angin badai. Aiden terpaksa membuka matanya dan melihat ke arah jendela. Masih tertutup, pikirnya. Angin kencang itu berhembus lagi; menerpa wajahnya. Padahal jendelanya tertutup, dari mana angin kencang ini berasal? Tanyanya dalam hati. Angin kencang itu berhembus beberapa kali lalu berubah menjadi angin dingin yang lembut dan membelai lehernya. Bulu kuduknya merinding. Aiden menutup mata lalu membungkus dirinya di dalam selimut.

Tidur, tidur, tidur! Teriak Aiden dalam hati. Saat ia mencoba untuk tidur dan menghiraukan angin-angin aneh yang berseliweran di sekelilingnya, ia mendengar sebuah nyanyian. “hmm..mm..mm..mm..” suara lembut itu mengumamkan sebuah lagu. Lagu Ja Jang Ga. Suara itu begitu lembut dan sangat pelan. Aiden membuka matanya perlahan. Dari balik selimutnya ia bisa melihat sebuah bayangan di depan pintu kamarnya. Ia tak berani melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu dan seakan-akan mengawasinya itu.

Nyanyian itu terus berlanjut. Semakin keras dan jelas. Jantung Aiden berdegup dengan kencang ketika ia melihat samar-samar, bayangan seseorang itu kini tepat di sebelahnya. Aroma bunga-bungaan tercium olehnya. Aiden membalikan tubuhnya dan membelakangi bayangan itu. Ia bisa melihat Mathew yang tertidur pulas di ranjang sebelahnya. Ia bisa merasakan sesuatu duduk di sebelahnya. Angin semilir seakan-akan mengelus-elus rambutnya. Aiden bisa merasakan belaian angin itu di kepalanya. Seberapa kuatnya pun ia berdoa, sesuatu itu tetap membelainya, menyanyikannya sebuah lagu, dan duduk disampingnya.

Beberapa saat kemudian, suara nyanyian itu hilang. Begitu juga dengan angin-angin aneh. Aiden menghela napas lega. Ia melihat jam. 02.23 AM. Ia berbaring terlentang dan membiarkan wajahnya terkena udara malam yang normal. Akhirnya ia tertidur juga.

______________

Villa at Busan, September 14th, 2010, 08.13 AM

“Bagaimana tidur kalian?” Tanya Dennis saat ia duduk di meja makan. Marcus dan Vincent sudah menyiapkan sarapan untuk semua member. Menu sarapannya seperti biasa, ramyeon. “Aiden, sepertinya kau begadang ya? Wajahmu terlihat lesu,” Tanya Dennis pada Aiden sambil meminum segelas air.

“Ah, aniyeyo hyung. Tidurku nyenyak tadi malam,” kata Aiden berbohong. Ia tak mau member-member yang lain ketakutan karena pengalamannya semalam.

“Aish! Sepertinya tadi malam si Jerome menyelinap ke kamarku,” kata Casey.

“Memang kenapa?” Tanya Vincent.

“Biasa. Ia menyelinap, mengelus-elus rambut juga bibirku seperti kelakuannya yang biasa. Tapi kali ini lebih parah! Ia menggumamkan sebuah lagu dan menggunakan falsetto sehingga kedengarannya mirip suara wanita. Anak itu tidak waras.”

Aiden membatu. Itu bukan Jerome, pikirnya. Ia berusaha mengatur nafas dan terlihat tenang. “Kau lihat wajahnya, hyung?” tanyanya. Ia menahan suaranya agar tidak ketahuan ia gugup.

“Tidak. Aku pura-pura tidur. Lagipula, kalau bukan Jerome, siapa yang berani melakukan hal seperti itu? Masa hantu,” katanya sambil tertawa-tawa. Vincent, Marcus dan Dennis pun ikut tertawa.

Spencer duduk di meja makan dengan rambut basah dan menggigil. Kelihatan jelas ia baru mandi. “Kamar mandi kosong. Ada yang mau mandi lagi tidak? Tapi pemanas airnya rusak, ” tanyanya dengan suara bergetar karena kedinginan.

“Nanti kusuruh ajussi itu untuk membetulkannya,” kata Dennis dengan tenang.

“Ya! Mana si Jerome?” Tanya Casey dengan kasar. “Aku harus buat perhitungan dengannya!”

“Kemarin malam ia pulang ke Seoul. Ibunya sakit,” jawab Spencer.

“Kemarin malam? Kapan tepatnya?”

“Sekitar jam sebelas malam. Kenapa memangnya hyung?”

Casey, Aiden, Dennis, Vincent, dan Marcus membatu. Mereka saling tatap. Pandangan Aiden yang paling kosong. Ternyata memang bukan Jerome, pikirnya. Ia menelan ludah. Casey pun merasa tegang dan kaget seperti Aiden.

“Aniya. Yap, mungkin saja ia balik lagi dari Seoul hanya untuk mengelusku,” kata Casey dengan santai sambil menyesap kopinya.

_______________

Villa at Busan, September 14th, 2010, 02.54 PM

Andrew sedang berjalan-jalan di dalam villa. Ia merasa terlalu kenyang untuk makan siang bersama member yang lain. Ia sangat mengagumi segala sesuatu yang ada di villa ini. Arsitektur, dekorasi, segalanya. Ia mengamati setiap detail dinding villa itu. Rumah besar bergaya Eropa, selalu punya detail yang indah. Andrew seakan-akan hilang kesadaran dan mengikuti kemanapun kakinya melangkah.

Ia menghentikan langkahnya ketika ia berdiri di depan sebuah lukisan. Lukisan yang indah, pikirnya. Ia mengamati wajah seorang gadis di lukisan itu. Cantik, pikirnya lagi sambil tersenyum simpul. Gadis yang terlukis disitu bukan orang Korea, ia orang Eropa. Rambutnya pirang ikal panjang dengan kulit pucat dan mata biru. Andrew melihat mata gadis itu lebih dalam. Ia seakan tersedot ke dalamnya. Ia mengerjapkan matanya lalu tersadar. Di mana ini? Tanyanya.

Bulleo..julge..i norae..gieokhalsuinni..”

Andrew mendengar sebuah nyanyian dan mencium wangi bunga-bungaan. Ia mengerjap dan melihat ke sekeliling. “Nuguseyo?” tanyanya.

Lampu mati. Andrew berpegangan pada dinding. Ia masih bisa mendengar nyanyian itu. Sangat pelan dan terdengar menyedihkan. Ja Jang Ga? Pikirnya. Lagu nina bobo itu sering dinyanyikan oleh ibunya sewaktu ia kecil. “YA! NUGUYAAA!” teriak Andrew.

Ia mulai berlari. Ia mencoba keluar dari ruangan aneh yang gelap ini. Nyanyian itu semakin keras dan parau. Diselingi isak tangis seorang gadis. Andrew berlari semakin kencang. Ruangan itu seperti tak berujung. Nyanyian itu seakan-akan mengejarnya. Anehnya, setiap ia melambatkan langkahnya, nyanyian itu semakin pelan, jika ia mempercepat langkahnya, nyanyian itu semakin keras dan parau. Andrew tak menghiraukan nyanyian aneh yang menggema di ruangan itu dan terus berlari. BRUK! Ia menabrak sesuatu. Lampu kembali menyala, dan nyanyian itu pun usai. Andrew terjatuh cukup keras sampai ia terlentang di lantai. Ia menyingkirkan sesuatu yang menimpa tubuhnya. Lukisan yang tadi, pikirnya. Ia melihat ke sekeliling dan mendapati dirinya terlentang di lantai ruang tengah. Ia mengatur nafas karena kelelahan lalu melihat lukisan itu.

“Ya Tuhan!” katanya kaget. Lukisan itu terlihat berbeda. Orangnya tetap sama, tetapi lukisan ini tidak tersenyum. Air mata mengalir di pipinya. Wajahnya tampak sedih.

“Kau kesepian ya?” Tanya Andrew dengan lirih pada lukisan itu. “Kau orang Eropa tapi jago menyanyikan Ja Jang Ga,” Andrew tertawa kecil lalu melanjutkan, “jangan ganggu kami ya.”

“Ya! Sedang apa terlentang di situ?” Tanya Mathew sambil tertawa.

Andrew tersenyum kecil lalu berdiri. Ia mencari-cari lukisan itu. Tidak ada.

“Aku ketiduran. Mungkin.”

____________

Villa at Busan, September 14th, 2010, 07.45 PM

Vincent masuk terburu-buru. Nafasnya terenga-engah, dadanya naik turun, dan pandangannya tidak fokus.

“Kau kenapa?” Tanya Dennis.

“Kuburan.. hyung.. banyak..” jawab Vincent terbata-bata.

“Apa? Ayo tenang dulu dan beri tahu aku semuanya.”

Dennis memapah Vincent ke ruang tengah. Ia membawa secangkir teh panas dan duduk disebelah Vincent. Vincent masih tampak tegang.

“Kuburan kau bilang?” Tanya Dennis tenang.

“O.. Hyung. Banyak. Bukan hanya satu, tapi BANYAK!”

“Arasseo, arasseo! Kau tenang dulu. Di mana kau menemukannya?”

“Di halaman belakang. Aku sedang bermain-main lalu aku tersesat. Seolah-olah ada di dunia lain. Lalu aku lihat kuburan-kuburan itu. Di belakang rumah Ajussi yang seram. Hyung, apakah Ajussi itu pembunuh?”

“Aish, mana mungkin. Kau terlalu banyak nonton film. Kau lihat batu nisannya?” Vincent mengangguk. “Nama siapa yang terukir disitu?”

“Nama-namanya aneh. Tapi ada beberapa nama Hanguk saram dan nisannya tampak baru; tidak berlumut seperti yang lain. Namanya..umm.. Kim.. Kim Sae…Joon.. ani.. Kim Joon Sae. Dan Han.. Wang..Bi. Iya. Kim Joon Sae dan Han Wang Bi,” Vincent melanjutkan, “di nisan itu tertulis tanggal meninggal mereka. Sekitar sebulan yang lalu.”


To Be Continued.....