

Genre: Horror
hk:joshua, hc:casey, eh:spencer, rw:nathan, sw:andrew, lt:dennis
sd:mathew, dh: aiden, ys:jerome, ki:jordan, sm:vincent, kh:marcus, kb:bryan trevor
Super Junior’s Dorm, September 13th, 2010, 09.05 AM
“Anak-anak, cepat beres-beresnya! Kita harus berangkat sebentar lagi. Manager hyung sudah marah-marah di bis,” seru Dennis. Di antara ke tiga belas member Super Junior, hanya dia yang sudah siap di ruang tengah dengan semua barang bawaannya.
“Iya hyung! Aku siap!” kata Vincent sambil sibuk merapikan barang bawaannya. Dia membawa ransel besar berwarna pink dan bermotif bunga-bunga, beberapa kotak sejenis kotak kosmetik berwarna pink, dan mengenakan baju poloshirt Snoopy yang lagi-lagi berwarna pink belang-belang.
“Ya, ampun, Vincent! Banyak sekali barang bawaanmu. Kita kan hanya menginap 3 hari. Lagakmu seperti mau berkemah dua minggu. Ckckckck,” sindir Casey. Memang kalau dibandingkan dengan Vincent, Casey hanya membawa sedikit barang bawaan. Ia menggendong tas merah dekil kebanggaannya yang lebih cocok jadi tas ajumma ketimbang tas pria, membawa sekantung makanan kecil, dan memakai baju belang-belang berwarna hitam dengan corak tengkorak dipadu dengan kacamata vintage dan topi panama. Kalau dipiki-pikir selera Casey memang aneh.
Akhirnya setelah tiga puluh menit, semua member sudah siap pergi dan menuju ke bis mereka.
“MEMBERSHIP TRAINING, HERE WE COME!” seru Dennis dengan logat Inggris aneh dan diiringi tawa khasnya. Member yang lain terlihat bersemangat dan bergembira. Sebelum mereka pergi, tak lupa Casey, Dennis, Spencer, dan Vincent berfoto terlebih dahulu.
______________________
Villa at Busan, September 13th, 2010, 01.10 PM
Akhirnya mereka sampai di sebuah villa di daerah pinggiran Busan. Villa itu cukup besar; sejenis rumah kayu. Ada sebuah cerobong asap yang menyembul di bagian atapnya. Suasananya cukup tenang dan asri. Di sekeliling villa ada taman-taman bunga yang indah dan pohon-pohon ek besar bertebaran di mana-mana. Villa ini persis seperti rumah-rumah di cerita dongeng lengkap dengan ayunan, kolam ikan, dan beberapa bangku taman.
“Waaaah! Villa yang indah!” seru Vincent tepat ketika ia menginjakkan kakinya di halaman villa. Ia berlari-lari dan berputar-putar seperti di dalam film di antara bunga-bunga yang bermekaran.
“Vincent, aku ikuuuut!” seru Spencer. Mereka langsung berlari-lari dan berpelukan seperti teletubbies.
“Hei! Kalian merusak bunga-bunganya!!!” teriak seorang kakek tua yang berbadan kekar kepada Vincent dan Spencer. Ia membawa sebuah garpu taman besar dan mengarahkannya ke muka Vincent. Ia memperhatikan wajah Vincent yang ketakutan lalu menghembuskan nafas berbau tembakau ke arahnya. “Anak kota, jangan rusak apapun di villa ini! Di sini berbeda dengan di kota sana. Kau mengerti, bocah pink?”
“N..Ne,” jawab Vincent tertahan karena ia menahan nafasnya.
“Mianhamnida, ajussi! Mereka terlalu senang menginap di villa yang sangat indah ini. Kami berjanji akan menjaga villa ini dengan baik,” kata Dennis sambil membungkukkan tubuhnya berulang kali.
“Kau yang paling tua ya? Jaga adik-adikmu dengan baik! Kalian ini tamu baru yang punya nama itu kan? Kalian..”
“Urineun syupeo juni, O eyo!!!” seru Dennis dan diikuti dengan refleks oleh member lainnya.
“Ya apapun itu lah. Mari kutunjukkan isi villa ini,” kata ajussi itu sambil meludah.
______________
Ajussi itu mengambil kunci-kunci yang bergemerincing dari dalam sakunya lalu membuka pintu villa. Dalamnya terlihat sedikit suram dan berdebu. Ia berdiri di depan pintu dan menghalangi member-member untuk masuk, jadi mereka hanya mengintip dari balik tubuh ajussi mengerikan itu.
“Di atas kamar tidur kalian, ada tiga ruangan, jadi terpaksa kalian harus berbagi kamar. Di pojok kanan itu kamar mandi. Ada tiga kamar mandi di villa ini. Satu di sana, yang satu lagi di atas, dan satu lagi di luar. Tapi yang di luar jarang dipakai, pakai saja kalau darurat. Dari pintu masuk lalu belok kanan itu dapur. Dapurnya bersatu dengan ruang makan.
“Dengar, kalian boleh melakukan apapun di villa ini, tetapi jangan pernah menyentuh atau mengganggu barang-barang di sini apalagi merusaknya. Usahakan semua barang di sini tetap di posisinya. Kalau terjadi apa-apa panggil saja aku. Aku akan ada di sekitar halaman villa sampai pukul enam sore,” jelas ajussi itu.
“Kalau malam-malam terjadi sesuatu bagaimana?” Tanya Jerome.
“Selama kau menurut padaku, takkan terjadi apa-apa.”
“Ajussi, kenapa kita tak masuk dulu?” Tanya Casey yang terlihat kepanasan.
“Aku tidak mau. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan.”
“Ayolah, kita minum dulu sambil mengobrol tentang villa ini,” ajak Andrew.
“AKU TIDAK MAU!!” bentak ajussi dengan mata melotot dan ekspresi yang lebih mirip ketakutan ketimbang marah.
“Oke, oke. Sabar dulu! Baiklah kami mengerti. Kalau begitu kami akan masuk dan beristirahat dulu,” kata Dennis.
Ajussi itu tak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyingkir dari depan pintu dan membiarkan member-member Super Junior masuk. Ia menghela nafas lalu kembali bekerja. Ia mengatakan dengan pelan, “semoga Tuhan melindungi mereka.”
Semua member berebutan masuk ke villa itu. Mereka berlarian untuk berebut kamar yang paling bagus. Aiden tertinggal di belakang. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh di villa itu. Perasaan aneh yang menyelubunginya membuat jantungnya berdegup kencang. Ia dengan malas masuk ke dalam dan dengan seketika suasana di dalam berubah drastis. Hangatnya musim panas seakan berganti menjadi dinginnya musim salju. Seperti ada angin yang berdesir di tengkuknya, padahal tidak ada angin yang berhembus.
“Hyung, kenapa diam saja? Ayo masuk! Nanti hyung dapat kamar yang jelek,” ajak Marcus sambil menepuk pundak Aiden. Aiden mengangguk.
Ia mulai melangkahkan kakinya. Aneh, pikirnya. Langkah kakinya terasa berat. Ia melihat ke sekeliling. Semua member Super Junior sudah ada di lantai atas. Ia melangkahkan kakinya lagi tabpa menghiraukan berat langkahnya. Ketika sampai di depan tangga, langkahnya kembali terhenti. Kini udara di sekitar seperti menusuk-nusuk paru-parunya. Sesak, pikirnya.
Perasaan-perasaan aneh seperti itu terus menerus meneror Aiden. Terkadang bulu kuduknya meremang ketika angin lembut dingin berdesir di tengkuknya.
“Aiden, kau kenapa sih? Kelihatannya kau kurang sehat,” kata Mathew pada Aiden.
“Tidak apa-apa kok. Kita sekamar ya, hyung?”
“Iya. Kau, aku, dan Nathan.”
Angin dingin itu berdesir lagi. Kini rasa dinginnya berubah menjadi hangat.
_____________
Villa at Busan, September 13th, 2010, 07.43 PM
“Hey Marcus! Teruskan sendiri ya masaknya. Aku ingin pipis,” kata Vincent sambil mengempit kedua kakinya.
“Iya hyung. Biar aku saja yang teruskan tinggal satu sandwich lagi kok.”
Vincent dengan tergesa-gesa melepaskan celemeknya lalu bergegas ke kamar mandi lantai bawah. Ia mengetuk lalu langsung terdengar caci maki Casey.
“Woiiiii!!! Aku sedang mandi! Sana pakai yang lain!” bentaknya.
“Mianhae, hyung!” kata Vincent. Ia langsung lari menuju kamar mandi atas.
Pintu kamar mandi atas pun terkunci. Vincent mengetuk tetapi tak terdengar jawaban. Ia mengetuk lagi. Lagi-lagi tak ada jawaban. Yang terdengar hanya senandung pelan seseorang dari dalamnya. Nathan mungkin, pikirnya. Kalau Nathan sudah di kamar mandi dan bersenandung, itu artinya ia akan lama berada di sana. Karena takut dibentak lagi, akhirnya Vincent kembali ke lantai bawah.
“Hyung, sudah pipisnya?” Tanya Marcus ketika Vincent berlari-lari kecil menahan kencing di dapur.
“Belum. Kamar mandi semuanya penuh. Aku malas pergi keluar,” jawab Vincent.
“Di atas memang ada yang pakai?” Tanya Nathan.
“Iya ada,” jawab Vincent. Ia memandang Nathan dengan heran. Bukannya Nathan yang di kamar mandi atas? Pikirnya.
“Kau berkhayal ya?” Tanya Andrew sambil menahan tawa.
Vincent menghitung semua member satu per satu. Ada 9 orang di ruang makan termasuk Vincent. Ditambah Casey yang sedang mandi berarti pas 10 orang. “Jadi, yang di atas tadi siapa? Sumpah pintunya terkunci dan aku melihat lampunya menyala bahkan aku mendengar senandungnya.”
Tiba-tiba lampu padam. “AAAAAHHHHH!” teriak semua member.
“Siapa yang mematikan lampu? Aku sedang mandi!!! Aish!” bentak Casey sambil keluar dari kamar mandi dengan wajah penuh sabun.
“Hyung, jangan-jangan pencuri!” kata Nathan. Semua orang menjerit lagi lalu berlindung di belakang punggung Dennis.
“Ayo kita periksa dulu!” ajak Dennis dengan suara bergetar.
Dengan berbekal sapu dan senter, mereka pun ke lantai atas untuk memastikan siapa yang ada di kamar mandi. Tidak ada yang bersuara. Yang terdengar hanya detak jantung mereka yang berdegup kencang.
Kamar mandi itu ada di ujung koridor. Dennis mengarahkan senter ke arah pintu kamar mandi. Mereka berjalan merayap ke tembok. Sayup-sayup terdengar suara senandung. Mereka menghentikan langkah.
“Tuh kan! Ada orang di dalam sana!” bisik Vincent cemas.
Dennis menelan ludah lalu kembali memimpin pasukannya. Akhirnya mereka sampai di depan pintu, Dennis memberi kode ‘1,2,3’ dengan tangannya. Pada hitungan ketiga, ia mendobrak pintunya dan memukul-mukulkan sapunya secara acak. Lampu akhirnya menyala kembali.
“AAAAAAHHHH!” teriak beberapa orang. Setelah lampu menyala, ternyata tak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi. Semua saling berpandangan heran. Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menggenangi kaki mereka. Tak ada seorang pun yang berani melihatnya karena mereka semua beranggapan itu adalah darah segar.
“AAAAHHHHH!” teriak Vincent. “Vinceeeeent!!!” teriak yang lain. Mereka sangka Vincent ditusuk dan darahnya-lah yang tergenang di lantai.
“Hyung, aku pipis di celana!”
__________________
“Kau terlalu banyak nonton film!” kata Mathew pada Vincent dengan kesal ketika mereka duduk di meja makan.
“Sudah..sudah! Jangan dibahas lagi! Lebih baik sekarang kita makaaaan!” kata Marcus dengan ceria sambil membawa nampan berisi tumpukan sandwich.
Semua orang bersemangat mengambil sandwich-sandwich itu. Dengan cepat sandwich-sandwich di nampan habis. Mereka makan dengan tenang sambil bercengkrama.
Casey lalu datang dari kamarnya. “Mana sandwich-ku?” tanyanya heran sekaligus marah pada Marcus.
“Loh, hyung belum mengambilnya? Kok sudah habis ya? Padahal tadi aku buat pas sepuluh buah,” jawab Marcus dengan heran.
“Ayo mengaku! Siapa yang makan bagianku? Mathew?”
“Enak saja! Aku sedang diet hyung!” jawab Mathew.
“Sudah, hyung. Aku buatkan saja lagi. Mungkin tadi aku salah hitung,” kata Marcus.
Setengah jam kemudian mereka selesai makan. Marcus dan Vincent membereskan meja sementara Spencer mengambilkan minuman soda. Ia menaruh sepuluh botol minuman di meja. Lagi-lagi semua member berebut soda. Marcus yang habis mencuci piring kembali ke meja makan untuk minum soda.
“Punyaku mana hyung?” Tanya Marcus pada Spencer.
Spencer melihat ke arah meja. Yang ada hanya beberapa botol minuman kosong di atas meja. “Tidak tahu. Tadi aku ambil sepuluh botol kok. Sudah benar-benar aku hitung. Kemana ya?” jawab Spencer kebingungan.
“Ya sudah hyung, aku minum air putih saja,” kata Marcus sambil mengambil gelas kertas.
Setelah selesai minum-minum, Spencer mengumpulkan botol-botol kosong lalu menghitungnya. Ada sepuluh buah kok, pikirnya. Ia lalu membuang botol-botol itu ke keranjang sampah.
Aneh, seperti ada yang ikut makan bersama saja, pikirnya lagi.
___________
To be continued…
July 10th, 2010, Behind The Scene Part 1 was uploaded…
July 31st, 2010, Behind The Scene Part 2 was uploaded…
Awalnya kedua fanfic di atas diunggah di Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia, tak disangka banyak orang yang merespon positif fanfic tersebut. ELF Indonesia kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris dan mengunggahnya di situs fanfic Internasional. ELF Korea sudah membaca fanfic tersebut dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Korea. Entah mengapa fanfic ini sampai ke tangan SM Entertainment.
________________________
SM Entertainment’s Practice Room Corridor, August 11th, 2010, 03.47 PM
“Dennis coba kemari sebentar,” kata manager hyung dengan wajah cemas. Terlihat dari keringatnya yang bercucuran.
“Ne, hyung!” seruku sambil menghampirinya.
Manager hyung menutup pintu ruang latihan, lalu berbicara dengan sangat perlahan, “ini, coba kau baca.”
“Fanfic?” tanyaku sambil tertawa; mengeluarkan tawa khasku. Manager hyung langsung membekap mulutku dengan seketika.
“Jangan ribut! Sajangnim sedang inspeksi. Memang hanya fanfic, tetapi entah kenapa banyak ELF diluar sana yang membicarakan fanfic ini. Fanfic ini sangat kontroversial. Dan percaya atau tidak, banyak kejadian yang sama dengan kenyataannya.”
“Maksud hyung?” tanyaku heran sekaligus penasaran.
“Sudah baca saja! Rundingkan dengan member yang lain. Tetapi, jangan sampai Sajangnim tahu! Kalau dia sampai tahu,” hyung menghela napas lalu melanjutkan, “kau pasti tahu apa akibatnya.”
Seketika aku merinding.
_________________
SM Entertainment’s Practice Room, August 11th, 2010, 03.50 PM
Aku duduk di lantai, bersender pada cermin besar di ruang latihan. Semua member sedang berlatih dan terlihat serius. Kuhitung mereka satu per satu, semuanya hadir kecuali Nathan. Oh ya, dia sedang pergi entah kemana.
Aku mulai membaca fanfic tersebut. Behind The Scene Part 1: We Are Literally Super Junior. Aku tersenyum kecil. Di bawah judul, terpampang foto kami. Sejauh ini aku masih berfikir ini adalah fanfic biasa yang sama seperti ribuan fanfic lain di luar sana. Pasti isinya tentang romansa kehidupan kami, tentang silsilah keluarga kami, atau yang paling sering penjodohan antar member dengan member lainnya atau member dengan si pengarang. Biasa.
Dengan berat hati aku teruskan membaca fanfic itu. Jantungku berdesir saat mataku menangkap tulisan: “If you feel tired, just smile. If you’re sad, just smile. If you’re angry, just smile. If you feel sick, just smile. All you have to do as an idol is smiling. Ignore all your pain and smile.”
Kata-kata itu adalah kata-kata yang sering diucapkan Sajangnim pada kami. Memang tidak sepenuhnya sama, tetapi intinya sama: menyuruh kami untuk berpura-pura. Setelah membacanya, aku semakin tertarik untuk membaca kelanjutannya.
Jantungku terus berdetak kencang ketika membaca kata demi kata yang tertulis di fanfic itu. Ada yang berbeda di fanfic ini, pikirku. Aku terus membacanya sampai akhir.
Sudah berkali-kali kubaca fanfic itu dan aku akhirnya menyadari sesuatu. Ternyata manager hyung benar. Banyak kejadian yang sama di sini. Lalu kuputuskan bahwa fanfic ini harus dirundingkan dengan member yang lain.
“Anak-anak, kumpul di tengah ruangan sekarang!” seruku dengan suara lantang yang bergetar.
“Ada apa hyung?” Tanya Jerome.
“Kumpul saja dulu. Nathan eodisseo? Dia belum kembali?”
“Sudah kutelepon, tetapi ia mematikan handphone-nya,” jawab Vincent sambil memperhatikan layar handphone-nya.
Aku menghela napas lalu duduk berdampingan dengan Marcus. Aku meletakkan fanfic itu di tengah-tengah.
“Coba kalian baca fanfic itu, kemudian kita rundingkan.”
Mereka semua menatapku dengan pandangan aneh dan dengan seketika mereka tertawa terbahak-bahak. Aku hanya memperhatikan dengan kening berkerut dan wajah masam. Saat itulah mereka mengetahui kalau aku benar-benar serius.
________________
Setengah jam kemudian, semua member sudah selesai membaca fanfic itu. Kini wajah mereka terlihat muram dan sangat serius. Wajah yang sama dengan wajahku ketika selesai membacanya.
“I..Ini hanya fanfic kan hyung? Untuk apa kita merundingkannya?” Tanya Spencer dengan gugup.
“Apa kalian tidak menyadarinya? Hampir semua kejadian yang ada di fanfic itu sama dengan apa yang kita alami,” jelasku.
Casey mencibir, “contohnya apa?” tanyanya sambil membuang muka.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Diet air, perlakuan Sajangnim, luka lebam di pipiku. Seharusnya tak ada yang tahu tentang kejadian-kejadian itu. Kita sudah berusaha menutup-nutupinya dimanapun bukan? Bahkan orangtua kita saja tidak mengetahuinya.”
Aiden mengambil fanfic itu lalu memerhatikannya. “Lalu, kenapa si pengarang ini bisa tahu?” tanyanya.
“Justru itu. Hal itu yang harus kita diskusikan. Sekarang kuminta kalian jujur padaku. Apakah ada seseorang dari kalian yang membocorkannya?” tanyaku sambil memandangi wajah mereka satu per satu.
“Aniyeyo, hyung! Mana mungkin kami melakukannya. Itu sama saja dengan bunuh diri!” seru Mathew.
“Arasseo, arasseo. Aku percaya. Kalau begitu, mungkin ini adalah kesalahan kita semua yang telah gagal berpura-pura di depan ELF. Sampai ada salah satu ELF yang menyadari ada yang tidak beres di kehidupan kita.”
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Andrew.
“Hanya satu yang bisa kita lakukan sekarang. Menyembunyikan fanfic ini dari Sajangnim.”
_____________
SM Entertainment’s Meeting Room, August 11th, 2010, 03.50 PM
Para kru sedang merundingkan fanfic itu, sama seperti anggota Super Junior. Mereka menyadari bahwa ada terlalu banyak kesamaan di fanfic ini. Mereka merasa khawatir, lalu mereka memutuskan untuk memblok semua site yang mempost fanfic tersebut. Mereka harus melakukannya dengan cepat. Sebelum semakin banyak fans yang membaca, sebelum wartawan tahu, dan sebelum terendus oleh Sajangnim.
______________
SM Entertainment’s Practice Room, August 11th, 2010, 04.57 PM
Ketika kami masih merundingkan fanfic itu, ada sebuah pesan yang masuk ke handphone-ku. Dari manager hyung. Semua sudah beres. Kami sudah memblok semua site yang mempost fanfic itu. Kalian tidak usah khawatir. Sajangnim tidak akan tahu. Aku merasa lega ketika membacanya. Itu artinya nyawaku masih bisa selamat.
“Anak-anak, kata manager hyung kita tak perlu khawatir lagi. Semua site yang mempost fanfic itu sudah diblok,” kataku dengan ceria.
“Jamkkanmanyo, hyung. Judul fanfic ini kan Behind The Scene Part 1, berarti ada part 2-nya. Apakah manager hyung sudah tahu?” kata Vincent dengan wajah serius.
“Hyung, kau harus dengan segera memberitahu manager hyung!” seru Spencer.
“Jangan dulu. Sebaiknya kita buktikan apakah benar ada kelanjutan fanfic tersebut atau tidak,” jelas Vincent.
“Benar juga. Sebaiknya kita cari part 2-nya, hyung!” kata Mathew bersemangat.
“Marcus, ambil laptopmu!” suruhku.
Marcus kemudian mengambil laptopnya dan dengan segera mencari tahu tentang Behind The Scene Part 2. Dia membuka google lalu mengetik keywords-nya. Ada banyak site yang mempost-nya ternyata. Lalu ia membuka salah satu site Korea yang telah menerjemahkan fanfic itu ke dalam Bahasa Korea.
Behind The Scene Part 2: Nathan’s Conspiracy. Nathan? Tanyaku dalam hati. Kenapa harus Nathan yang jadi topiknya? Kenapa hanya Nathan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku.
“Nathan?” Tanya yang lain hampir serempak.
Marcus membaca acak fanfic itu. Fanfic yang kedua ini hanya bercerita dari sudut pandang Nathan. Seolah-olah Nathan sendiri yang bercerita. Fanfic ini pun dilengkapi dengan foto-foto dan video.
“Hyung, aku sudah temukan. Coba dibaca,” kata Marcus sambil menyerahkan laptopnya padaku.
Kubaca paragraf demi paragraf fanfic itu. Seluruh anggota Super Junior berkumpul di sekitarku; ikut membaca fanfic tersebut. Selama bermenit-menit tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Beberapa orang mendengus; pura-pura tidak peduli, tetapi pada akhirnya mereka ikut membaca juga.
Ini terlalu aneh, pikirku. Nathan? Orang selugu Nathan bisa berbuat hal jahat seperti itu? Tidak mungkin. Kurasakan jantungku berdegup kencang, keringat dingin mulai menetes di keningku. Aku percaya pada Nathan lebih daripada apapun, aku sangat mempercayai member-memberku. Tetapi entah mengapa, fanfic konyol – yang biasanya berisi sampah – ini benar-benar menguras otak dan hatiku. Seberapa kuatnya pun rasa percayaku pada Nathan, pertanyaan-pertanyaan semacam: Benarkah ini? Apa mungkin ia melakukannya? Kenapa ia berani melakukannya? terus terngiang-ngiang di otakku seperti gema.
Aku menggigiti kukuku dengan cemas. Pandanganku tetap tertuju pada laptop Marcus. Suasana hening hilang ketika seseorang tertawa dengan keras.
“Hahahahaha! Yang ini baru fanfic! Khayalan fans memang terlalu tinggi,” kata Casey sambil tetap tertawa-tawa. Aku memandangnya. Dia memang tertawa, tetapi matanya tetap cemas. Matanya seakan mencerminkan pertanyaan-pertanyaan yang sama denganku.
“Benar juga, hyung. Ternyata kelanjutannya benar-benar jauh dari kenyataan. Berarti kita tak perlu terlalu cemas soal ini. Lihat, masa Nathan tega mencederai kita? Dia kan sangat lugu dan baik. Lagipula, aku tak pernah melihatnya marah kepada kita,” jelas Andrew. Penjelasannya tak mampu menghentikan degup jantungku yang semakin kencang.
“Dan Aiden sebenarnya tidak sakit ‘kan hyung? Sudahlah jangan terlalu serius menghadapi hal ini,” kata Jerome sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku menatap Aiden. Ia sedang ber-argumen dengan Spencer sambil tertawa-tawa. Seperti Casey, sebenarnya ia tidak tertawa. “Aiden, benarkah itu?” tanyaku sambil menatap lurus ke arah matanya.
“Apa yang benar, hyung?” tanyanya. Ia menelan ludah.
“Apa benar kau tidak sakit?”
Ia menelan ludah lagi dan mulai menggigiti bibirnya.
“Hyung! Kau lebih percaya fanfic sialan itu?” Tanya Mathew dengan marah.
“Aiden, apa benar kau tidak sakit?” desakku lagi tanpa menghiraukan Mathew yang terus membentakku.
Aiden menghela napas, “ya, aku pernah sakit,” katanya lemah.
Aku menutup mataku. Satu fakta yang bahkan anggota Super Junior sendiri tak tahu akhirnya terbongkar. Tak ada tawa-tawa kecil yang terdengar. Mathew berhenti memaki-maki. Casey menatap sekeliling dengan pandangan menerawang. Suasana di sini benar-benar seperti di film horror.
Aku berdiri. Kupandangi mereka satu per satu. “Mulai sekarang jangan ada yang disembunyikan! Jangan menghibur diri dengan berpura-pura kalian tak mempercayai fanfic ini! Jangan berkelit jika kalian sadar bahwa fanfic ini benar! Dengar semua, kita hadapi masalah ini bersama,” jelasku dengan satu tarikan napas dan suara bergetar.
Beberapa orang seperti Casey, Andrew, dan Mathew masih tak mempedulikanku. Aku menghembuskan napas dengan lemah lalu duduk kembali. Kupeluk kedua lututku dan kubenamkan wajahku diantaranya. Suasana kembali hening.
Beberapa saat kemudian Andrew bertanya, “darimana si pengarang ini bisa tahu kalau aku membantu Marcus saat dia kecelakaan sementara Marcus hanya bercerita kepada kita saja?”
Mata kami semua membelalak. Benar! Satu fakta lagi terungkap. Kami semua berfikir dengan keras.
“Mau dengar sesuatu yang seram?” Tanya Marcus dengan pandangan kosong. “Dengar, bukan berarti aku mempercayai sepenuhnya fanfic ini, tetapi alasan mengapa Nathan tega mendesain sebuah kecelakaan cukup jelas. Ia benar-benar menganggapku sebagai saingan. Kalian ingat, setelah kita mengadakan pesta penyambutanku, Nathan selalu menjaga jarak dariku. Seakan-akan aku ini musuh terberatnya. Kalian mungkin tak merasakan perubahan sikapnya terhadapku, tetapi aku merasakannya. Tidak ada sinkronisasi lagi saat kami bernyanyi bersama.
“Dan lihat, jadwal kita saat kejadian memang memungkinkan untuk melakukan suatu rencana jahil dan..” penjelasan Marcus terhenti dan ia seakan-akan ingat sesuatu. “Teukie Hyung, kau ingat? Sebenarnya yang diundang ke acara KBS Radio Show itu Nathan, bukan aku,” katanya. Ia mulai berfikir; mengembalikan ingatan-ingatan acak mengenai peristiwa mengerikan itu.
“MWO?” Tanya beberapa orang hampir bersamaan.
“Marcus benar. Seharusnya Nathan yang pergi. Ia izin padaku karena perutnya sakit waktu itu. Ia meminta Marcus untuk menggantikannya. Pada awalnya Marcus tak mau karena tenggorokannya sedang sakit, tetapi Nathan terus mendesaknya dan akhirnya Marcus menyerah lalu ia pergi denganku, Mathew, dan Spencer. Setelah itu, berkali-kali kutelepon dia untuk memastikan ia tak apa-apa, tetapi tak satupun panggilanku dia jawab.”
Setelah mendengar penjelasanku, beberapa member menggeleng-gelengkan kepalanya dan beberapa lagi menutup mulut mereka karena kaget.
“Marcus, print out fanfic ini dan bawa kesini secepatnya!” suruhku. Marcus mengangguk lalu meninggalkan kami.
Lima belas menit kemudian, Marcus datang lalu ia menyodorkan fanfic itu padaku. Aku mebolak-balik fanfic tersebut berkali-kali. Aku berusaha menemukan fakta lainnya yang tersembunyi di sini. Kulingkari beberapa hal penting di fanfic itu.
“Bagaimana dengan kecelakaan Casey? Apa kalian percaya Nathan penyebabnya?” tanyaku.
“Yang jelas, aku sudah mengecek keadaan mobilku sebelum aku pergi. Tak ada sedikitpun cacat atau kabel yang secara aneh terputus. Dan jika benar Nathan yang menyebabkannya, berarti aku tidak salah lihat,” kata Casey dengan tenang.
“Tidak salah lihat apa maksud hyung?” Tanya Vincent.
“Sebelum ke pemakaman ayah Aiden, manager hyung menyuruhku membawakan beberapa barang bawaan. Ia menyodorkanku tas Nathan. Ketika sedang berjalan menuju tempat parkir, Nathan tiba-tiba berteriak sambil berlari dan memandangku dengan marah. Dia bertanya kenapa aku membawa tasnya. Lalu dia merebut tasnya dengan kasar dan tidak sengaja tas Nathan jatuh. Isi tasnya berceceran, diantara peralatan make-up dan barang-barang lainnya, terselip sebuah gunting kabel. Kupikir aku salah lihat waktu itu, jadi aku tak curiga sedikitpun padanya.”
“Aigoo,” kata Vincent lemah.
“Dan kalau benar ia melakukannya, berarti dia tidak dengan cermat melakukannya. Ia salah mengembalikan kunci mobilku ke posisi sebelumnya. Sebelumnya, kusimpan kunci mobilku di sisi kiri tasku, tapi ketika aku berangkat, kunci mobilku secara aneh berpindah tempat ke sisi kanan tasku,” sambung Casey.
“Arasseo,” kataku. Aku mengatur napasku. “Lanjut ke kasus berikutnya.”
…konspirasi antara Sajangnim dan ayah Aiden.
“Aiden, apa benar ayahmu meminta kepada Sajangnim secara langsung untuk merekrutmu?” tanyaku. Aku mohon jawabannya ‘tidak’, pikirku.
Aiden memandang ke arahku. Dengan perlahan ia mulai terisak dan menangis. “Nan.. m.. mollayo, hy..hyung,” bisiknya disela-sela isakan tangisnya. “Ayahku tak pernah bercerita padaku mengenai hal itu. Yang pasti, ayahku selalu memintaku untuk patuh dan terus menuruti apa kata Sajangnim. Ayahku bilang Sajangnim adalah malaikat tak bersayap. Tetapi, sampai sekarang aku tak mengerti apa maksud perkataannya.”
Casey mencibir. Ia menyunggingkan senyum khasnya. “Malaikat tak bersayap? Ia binatang tak berotak.”
“Bukan saatnya untuk hal itu, Casey!” bentakku padanya. “Masalahnya sekarang bukan mengenai Sajangnim, tetapi mengenai Nathan. Aiden, apakah Nathan pernah berkata sesuatu mengenai hal ini kepadamu?”
Aiden berfikir sejenak. “Pernah,” katanya. “Aku tidak begitu menangkap maksud perkataannya waktu itu. Kejadiannya sekitar seminggu setelah ayahku meninggal. Aku masih berduka saat itu. Ketika aku sedang membaca di ruang tengah, Nathan datang lalu berkata sesuatu padaku. Kata-katanya masih terngiang-ngiang sampat saat ini di telingaku. Katanya: Hyung, setidaknya ayahmu mewarisimu sesuatu yang indah. Bakat dadakan dan fans yang menyayangimu atas sesuatu yang bahkan kau tak berhak mendapatkannya. Saat itu kupikir ia sedang menyemangatiku. Karena pikiranku masih berkelana kemana-mana, aku tak begitu menanggapi ucapannya. Tapi kini, kurasa semuanya telah jelas.”
Satu fakta lagi.
Ingin rasanya aku mencekiknya dan mendesaknya agar dengan jujur menjelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi. Sepertinya seluruh amarahku telah memuncak. Puzzle-puzzle itu kini mulai bersatu. Kepingan-kepingan memori di dalam otakku kusambungkan lagi dan sialnya, fanfic itu seperti menjelaskan dengan detail memori yang kuanggap angin lalu waktu itu.
“Sial! Di mana si Nathan bajingan itu!” seru Mathew sambil menonjok kaca dengan kepalan tangannya.
“Jangan dulu terbakar emosi!” kata Andrew sambil menenangkan Mathew.
“Baca baik-baik, Andrew! Korban selanjutnya KAU!!” bentak Mathew di depan wajah Andrew.
“Pasti ada jalan keluar yang lebih baik daripada memaki atau membalas dendam padanya!” Andrew balas membentak.
Ingin rasanya aku menangis sekarang. Semua ini takkan terjadi kalau tak ada fanfic ini. Rasa percayaku pada Nathan atau siapapun di sini pasti masih utuh tanpa fanfic itu. Tetapi di lain sisi kusyukuri fanfic itu. Tanpanya, mungkin Nathan sudah mencelakai Andrew. Tanpanya, mungkin kami akan tertipu olehnya untuk kesekian kalinya.
Dengan kepala berat aku memandang sekelilingku, semuanya masih ber-argumen; beberapa diantaranya diam membisu. Jamkkan, pikirku. Ada seseorang yang menghilang.
“Mana Vincent?” tanyaku.
Handphone-ku berdering. Kulihat layar handphone-ku. Tertulis Vincent.
“Yoboseyo,” sapaku. “Kau dimana?”
“Hyung, cepat ke dorm. Aku di kamar Nathan sekarang. BBALLI!!!” katanya terdengar panik.
Aku menutup ponselku. “Ada apa, hyung?” Tanya Jerome.
“Anak-anak, aku akan ke dorm sekarang, kalian diam di sini.”
__________________
Super Junior’s Dorm, August 11th, 2010, 07.23 PM
Aku sampai di dorm. Di luar terparkir motor Vincent. Aku mencari-cari sepatu Nathan ketika kami masuk ke dalam. Aku takut Nathan sudah pulang lalu menyekap Vincent. Nathan sekarang benar-benar seperti kriminal berdarah dingin bagiku. Di rak sepatu tak ada sepatu Nathan. Sepatu Vincent tergeletak tak beraturan di lantai. Sangat terlihat jelas bahwa ia tergesa-gesa. Untunglah Nathan tak ada di sini.
Dengan jantung berdegup kencang, aku pergi ke kamar Nathan.
Pintu kamarnya terbuka sedikit. Di antara celah itu aku bisa melihat punggung Vincent membatu. Ia diam bergeming di tempatnya. Aku membuka pintu lalu menutupnya lagi.
“Hyung,” katanya sambil berbalik. Aku bisa melihat wajah ketakutannya. “Fanfic itu benar. Fakta-fakta yang tersembunyi di dalamnya benar.”
Ia melirik beberapa lembar kertas di meja tulis. Aku mengambilnya. Kertas-kertas itu berisi skema rencana-rencananya. Salah satunya adalah skema mengenai Andrew, wajah, obat bertuliskan Staphylococcus aureus (bakteri penyebab bisul dan jerawat) dan beberapa hal janggal lainnya yang tidak kumengerti. Persis seperti di dalam fanfic. Di sampingnya ada sebuah diary yang terbuka. Terlihat ada sesuatu yang ditempel yang secara paksa di cabut.
“Lihat yang kutemukan di diarynya,” kata Vincent sambil menyodorkan selembar foto padaku.
“Ommo!” kataku kaget. Ternyata semuanya benar. Ternyata semuanya fakta. Ternyata Nathan memang jahat.
Saat itu seseorang membuka pintu sambil bersenandung tenang. Kami menoleh dan melihat Nathan hendak masuk sambil membawa beberapa botol obat.
“Kalian sedang apa di kamarku?” tanyanya dengan pandangan menusuk.
THE END